108 Investasi Ilegal Sepanjang 2018 Distop, Berapa Kerugian Masyarakat?
Kegiatan investasi ilegal ini paling banyak berbentuk perdagangan mata uang asing (foreign exchange), multilevel marketing (MLM), dan money game.
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satgas Waspada Investasi (SWI) telah menghentikan 108 investasi ilegal sepanjang 2018. Jumlah tersebut meningkat dari 2017 yang sebanyak 80 investasi ilegal dan 2016 sebanyak 71 investasi ilegal.
Ketua SWI Tongam Lumban Tobing mengatakan, kegiatan investasi ilegal ini paling banyak berbentuk perdagangan mata uang asing (foreign exchange), multilevel marketing (MLM), dan money game.
Menurut Tongam, ada tiga hal yang menjadi faktor penyebab bertambahnya jumlah investasi ilegal setiap tahunnya.
Pertama, kemajuan teknologi semakin memudahkan pelaku investasi ilegal untuk menawarkan kegiatannya. Penyebabnya, investasi ilegal tersebut bisa diakses melalui situs dan aplikasi yang tersebar luas di dunia maya.
Kedua, literasi masyarakat terhadap investasi ilegal masih belum memadai. “Masyarakat sangat mudah tergiur dengan tawaran bunga yang tinggi dan mendapatkan keuntungan secara cepat,” kata dia, Senin (21/1).
Baca: Kasus Investasi Bodong, Nasabah Minta OJK Telusuri Aliran Dana
Ketiga, laporan dari masyarakat terkait investasi ilegal terus meningkat. Menurut Tongam, banyak investasi ilegal yang terdeteksi berkat pengaduan dari masyarakat yang belum menjadi korban. Pengaduan tersebut dilakukan melalui telepon 157 atau surat elektronik dengan alamat konsumen@ojk.go.id.
“Dalam hal ini, SWI tidak menunggu ada korban terlebih dahulu. Saat melihat penawaran dari investasi yang tidak terdaftar di OJK, kami langsung hentikan,” kata Tongam.
Kemudian, jika investasi ilegal tersebut memiliki situs web ataupun aplikasi, maka SWI akan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI untuk memblokirnya.
SWI mencatat, sepanjang 2007-2017, jumlah kerugian masyarakat dari investasi ilegal ini mencapai Rp 105,8 triliun.
Sayangnya, jumlah kerugian dari investasi ilegal yang dihentikan sepanjang 2018 ini belum bisa diketahui. “Secara pasti baru bisa diketahui dari adanya proses penegakan hukum,” katanya.
Oleh karena itu, Tongam menyarankan, para korban yang mendapat kerugian untuk melapor ke kepolisian supaya ditindak secara hukum.