Politikus Gerindra Kritik Rencana Pemerintah Terapkan Pemberlakuan Bahan Bakar B30
Penggunaan B30 ditujukan untuk mengurangi impor migas yang dianggap kerap menjadi penyebab defisit neraca perdagangan.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono mengkritik rencana kebijakan pemberlakuan bahan bakar biodiesel 30 perseb (B30) yang tengah dilakukan pemerintah.
Penggunaan B30 ditujukan untuk mengurangi impor migas yang dianggap kerap menjadi penyebab defisit neraca perdagangan.
Politisi senior Gerindra ini mengaku prihatin terkait rencana penerapan B30 tersebut.
Sebab menurutnya kebijakan tersebut hanya mampu mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar saja,
Baca: Pertamina Dukung Penuh Uji Penggunaan B30 pada Mesin Diesel
Padahal, impor BBM jenis tersebut porsinya tidak terlalu besar terhadap total impor nasional.
"Saya sangat prihatin atas satu kebijakan pemerintah di mana akan menerapkan BBM B30 dengan dalih substitusi impor yang menurut saya ini tipu muslihat dan tidak mendasar", ujar Bambang di Kompleks Palemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Saat ini, lanjut Bambang, di Indonesia baru diberlakukan BBM B20.
Ini adalah yang pertama di dunia karena semua negara di dunia hanya menggunakan B5, B7 sampai dengan B10.
"Misalnya Kanada, Malaysia, Argentina, Australia dan lain-lain. Dampak multiplyer effect kenaikan biodiesel diatas 10 % berakibat fatal terhadap semua mesin-mesin industri dan transportasi. Karena minyak biodiesel diatas 10 % merusak mesin industri dan transportasi. Ruang bakar kotor, saringan dan injektor cepat rusak, mesin panas dan lainnya sehingga akan berpengaruh terhadap ekonomi secara keseluruhan," paparnya.
"Selain itu, subtitusi impor yang dikatakan berpengaruh besar, kenyataannya sangat kecil karena solar adalah bagian kecil dari impor migas, hanya 4,6 juta ton per tahun, sedangkan total migas kita 50,4 juta ton per tahun," imbuhnya.
Bambang menerangkan impor migas Indonesia pun hanya 15 persen dari impor non migas, di mana impor non migas tahun 2018 sebesar 29.868 juta USD, sedangkan impor non migasnya 158.842 juta USD.
Jadi subtitusi biodiesel B20, B30 dan bahkan B100 pun tidak akan berdampak signifikan terhadap nilai impor Indonesia.
Tetapi, menurutnya akan berdampak menghancurkan ekonomi dalam negeri.
"Disini terlihat pemerintah dalam pengendalian kapitalis tanpa mementingkan masyarakat secara luas termasuk keselamatan transportasi," tegas Bambang.
Oleh sebab itu, Bambang mengimbau pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan mengenai penggunaan bahan bakar nabati sebagai energi untuk kendaraan bermotor.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai menggalakkan penggunaan bahan bakar B30 terhadap kendaraan bermesin diesel.
B30 sendiri merupakan campuran biodiesel berbahan dasar sawit sebanyak 30 persen dengan bahan bakar solar sebanyak 70 persen.
Alasan Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar B30 adalah untuk menyediakan BBM yang lebih ramah lingkungan.