Peneliti: Simplifikasi Cukai Berpotensi Matikan Industri Kretek Nasional
Merujuk data Ditjen Bea Cukai (2019), terjadi penurunan jumlah IHT di Indonesia. Tahun 2007 berjumlah 4.793 IHT, tahun 2017 berjumlah 487 IHT.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan mendorong penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai hasil tembakau kepada pemerintah mendapatkan tanggapan dari peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati.
Menurut Enny, Indonesia memiliki produk industri hasil tembakau (IHT) yang lebih heterogen. Simplifikasi cukai dan penyesuaian harga jual eceran (HJE) berpotensi menimbulkan hilangnya produk-produk IHT Indonesia yang heterogen tersebut.
Merujuk data Ditjen Bea Cukai (2019), terjadi penurunan jumlah IHT di Indonesia. Tahun 2007 berjumlah 4.793 IHT, tahun 2017 berjumlah 487 IHT.
Dalam keterangan yang diterima, Enny mengatakan, simplifikasi cukai relevan diterapkan di berbagai negara-negara baik di Amerika dan Eropa dimana mayoritas mengonsumsi produk sigaret putih mesin (SPM). Fakta tersebut berbeda dengan Indonesia yang memiliki keragaman produk IHT.
Baca: Mahfud MD: UU KPK Hasil Revisi Akan Tetap Berlaku Meskipun Presiden Tidak Mau Tanda Tangan
Baca: Tak Terima soal Kasus Atta Halilintar Dicampuri, Bebby Fey Ancam Pidanakan Dinar Candy: Gua Tuntut!
Baca: Peneliti LIPI Sebut Karhutla di Sumatera dan Kalimantan Buatan Manusia
"Indonesia memiliki beragam jenis rokok, PMK 156/2018 sudah sangat baik karena mengakomodir keragaman jenis rokok sehingga PMK tersebut layak untuk dipertahankan. Keragaman jenis rokok tadi juga berkaitan dengan serapan tembakau dalam negeri," kata Enny di Jakarta, Kamis (26/09).
Enny mengatakan, simplifikasi cukai jika dilihat dari historisnya, dari 16 layer lalu terus menerus menurun. Nah, jika saat ini jumlah layer 10, menurut Enny, itu sudah sederhana, tidak perlu disederhanakan lagi.
Enny juga menyoroti rencana pemerintah menggabungkan golongan sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Menurut Enny, itu ibarat Muhammadiyah dan NU.
"Jadi, (SKM dan SPM) jangan dipaksa digabung," ujarnya.
Enny mengusulkan perlunya alternatif kebijakan struktur cukai hasil tembakau yang berkeadilan. Alternatif kebijakan tersebut dengan memerhatikan tiga hal utama. Pertama, tenaga kerja. Untuk golongan sigaret kretek tangan (SKT) yang menyerap tenaga kerja (padat karya), perlu adanya afirmatif kebijakan dan insentif bagi pelaku IHT SKT.
“SKT mendapatkan cukai hasil tembakau (CHT) lebih rendah daripada SKM maupun SPM. Kemudian, besarnya penyerapan tenaga kerja dapat dimasukkan menyusun struktur CHT,” katanya.
Kedua, nilai budaya dan kekhasan. Layaknya anggur dan keju yang diberikan perlakuan khusus dalam bisnis negara-negara Eropa, hasil tembakau juga menjadi salah satu nilai budaya Indonesia yang perlu dirawat agar terus terjaga.
Menurut Enny, kretek adalah rokok yang mengandung cengkeh dan unsur rempah alamiah didalamnya. Kretek merupakan produk hasil racikan tembakau dengan potongan cengkeh, serta tambahan saus. Sedangkan rokok putih hanya mengandung tembakau saja.
“Racikan seperti inilah yang menjadikan rokok kretek memiliki rasa dan aroma yang berbeda dari jenis sigaret lain,” ujarnya.
Ketiga, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). TKDN menjadi hal yang wajib dalam mendukung terciptanya produk nasional dan membatasi komponen impor dalam produk yang tercipta.