Cukai Rokok Naik, Simplifikasi dan Penggabungan SPM-SKM Dinilai Tak Perlu
Jumlah industri penghasil rokok yang legal akan menurun, karena berat bagi industri untuk membeli pita cukai.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM - Kenaikan tarif cukai dengan rata-rata 23% mengejutkan para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) yang memicu banyak penolakan.
Peneliti Ilmu ekonomi Universitas Padjadjaran Bayu Kharisma menganalisis, keputusan pemerintah menaikkan cukai hingga 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) 35% yang akan mulai pada tahun 2020 berdampak pada kenaikan harga jual yang akan menurunkan penjualan rokok.
Sehingga jumlah industri penghasil rokok yang legal akan menurun, karena berat bagi industri untuk membeli pita cukai.
“(Kenaikan tarif cukai) akan berdampak luas terhadap kondisi perekonomian seperti pengangguran, inflasi dan matinya industri-industri rokok yang kecil dan menengah, serta petani tembakau akan kehilangan penghasilannya,” katanya dalam keterangan yang diterima, Jumat (27/9/2019).
Dampak lanjutan yang dapat timbul, kata dia, adalah meningkatnya peredaran rokok illegal, yang terpusat di daerah-daerah dengan target konsumennya menengah ke bawah.
Ia mengingatkan saat ini rasio harga per bungkus rokok Indonesia dibandingkan dengan PDB per kapita lebih tinggi dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Swiss hingga negara tetangga Malaysia.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soesono, mengatakan bahwa meski belum diterapkan, rencana kenaikan cukai telah memberi dampak nyata pada tata niaga bawah.
Hal ini berupa tekanan dari para pedagang yang memanfaatkan isu kenaikan cukai untuk menekan harga kepada petani. Akibatnya, pembelian semula yang bisa mencapai 2 ton menjadi 500 kg.
Ia juga memprediksikan ketika cukai tersebut diterapkan tahun depan, berupa berkurangnya tingkat penyerapan panen tembakau.
Kenaikan tarif cukai rokok bukan satu-satunya tantangan yang diberikan pemerintah dalam upaya mengontrol sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Wacana penerapan simplifikasi struktur tarif cukai dan penggabungan batas jumlah produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi tantangan lain.
Bayu mengungkapkan, rencana kenaikan cukai sudah cukup berat bagi pelaku industri, apalagi jika dibebani dengan simplifikasi dan penggabungan.
“Ancaman terhadap petani dan potensi terjadinya PHK menjadi semakin tinggi. Ditambah pula, jika penggabungan SPM dan SKM diterapkan maka akan terjadi potensi oligopoli dan juga monopoli” katanya.
Jika pada akhirnya penggabungan SPM dan SKM diterapkan, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah akan dipaksa untuk menyesuaikan tarif yang lebih tinggi berdasarkan penggabungan batas jumlah produksi kedua kategori tersebut.
Diprediksi, persaingan tidak sehat lantas terjadi karena tengah tekanan kenaikan cukai yang sangat tinggi, perusahaan rokok kecil dan menengah terdampak akan dihantam beban cukai tambahan akibat adanya simplifikasi dan penggabungan.
Lantaran hal itu, dampaknya adalah oligopoli dan monopoli terjadi karena dominasi dan arah perdagangan di pasar pada akhirnya akan dikendalikan pemain besar.