Ahok Diberi Tugas Utama Turunkan Impor Migas, Jokowi Pernah Beri Teguran Langsung
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok telah resmi menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina.
Penulis: Daryono
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok telah resmi menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina.
SK pengangkatan Ahok sebagai Komisaris Utama diserahkan pada Ahok, Senin (25/11/2019) lalu di kantor Kementerian BUMN.
Dipercaya menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, Ahok diberi tugas dan target.
Bukan untuk memberantas mafia migas, tugas prioritas untuk Ahok yakni untuk mengurangi impor minyak dan gas (Migas).
Hal itu ditegaskan oleh Menteri BUMN Erick Thohir saat mengumumkan nama Ahok sebagai Komisasris Utama Pertamina pada Jumat (22/11/2019) lalu.
"Kenapa pak Basuki di Pertamina apalagi didampingi Pak Wamen (Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin) juga bagaimana target-target Pertamina, bagaimana mengurangi impor Migas harus tercapai. Bukan berarti anti impor tapi mengurangi," ujar Erick.
Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga.
"Intinya adalah mengurangi impor minyak," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Senin (25/11/2019).
Menjadi target utama Ahok, lantas seperti apa gambaran impor migas Pertamina selama ini?
Berikut fakta tentang impor migas Pertamina sebagaimana dirangkum Tribunnews.com, Rabu (27/11/2019):
1. Pernah Disorot Jokowi di Sidang Kabinet
Persoalan impor migas rupanya pernah disorot langsung oleh Presiden Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Senin (8/7/2019).
Dalam rapat kabinet itu, Jokowi menegur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Ignatius Jonan serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kalai itu, Rini Soemarno.
Mengutip Kompas.com, teguran ini diberikan karena impor yang tinggi di sektor minyak dan gas.
Dalam rapat yang dihadiri seluruh menteri dan seluruh kepala lembaga itu, Presiden menunjukkan data impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Nilai impor Januari-Mei turun mencapai 9,2 persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun, Jokowi menilai angka tersebut belum memuaskan karena nilai impor masih tinggi.
"Coba dicermati angka-angka ini dari mana kenapa impor jadi sangat tinggi, kalau didetailkan lagi migasnya ini naiknya gede sekali," kata Jokowi.
"Hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, yang berkaitan dengan ini. Bu menteri BUMN yang berkaitan dengan ini karena rate-nya yang paling banyak ada di situ," kata Kepala Negara.
2. Pasca-Ditegur soal Impor Migas, Dirut Pertamina Lapor ke Jonan
Sehari setelah adanya teguran dari Jokowi, Direktur Utama PT Pertamina (persero) Nicke Widyawati memberikan laporan kepada Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan.
Dikutip dari Kompas.com, berdasarkan laporan Nicke ke Jonan, pada periode Januari-Mei 2019, total impor crude, product, dan LPG mengalami penurunan sebanyak 24 persen ketimbang periode yang sama pada tahun lalu.
Di 2019 ini, total impor crude alias minyak mentah, product, dan LPG sebesar 7,3 miliar dollar AS.
Sedangkan di 2018 lalu sebesar 9,6 miliar dollar AS.
Jika dirincikan, impor crude pada periode Januari-Mei 2019 sebesar 2,2 miliar dollar AS atau turun 49 persen.
Sedangkan pada periode yang sama pada tahun lalu impor crude mencapai 4,3 miliar dollar AS.
Selanjutnya, untuk produk gasoline, avgas, avtur dan gasoil realisasi impornya pada tahun ini sebesar 3,9 miliar dollar AS.
Angka tersebut turun 6 persen dibanding tahun lalu yang mencapai 4,2 miliar dollar AS.
Sedangkan untuk LPG, jumlah impornya naik 7 persen dibanding tahun lalu.
Tahun ini, jumlah impor LPG sebesar 1,2 miliar dollar AS dan tahun lalu hanya 1,1 miliar dollar AS.
“Total overall crude, product dan LPG, trun 24 persen,” ujar Nicke dalam laporannya kepada Jonan, Selasa (9/7/2019).
3. Pertamina Sebut Impor Migas Empat Bulan Pertama di 2019 Turun Drastis
Dikutip dari siaran pers Pertamina yang dipublikasikan di laman resmi Pertamina pada 2 Mei 2019, impor minyak mentah dan kondensat Pertamina mengalami penurunan drastis hingga sekitar 50 persen selama empat bulan pertama 2019.
Hal ini terutama dipengaruhi oleh penyerapan minyak mentah dan kondensat produksi domestik bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman mengatakan, volume impor minyak mentah dan kondensat Pertamina pada periode Januari hingga April 2019 mencapai sekitar 25 juta barel atau turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang sekitar 48 juta barel.
Penurunan ini juga berdampak pada penurunan nilai biaya impor sebesar USD 1,4 miliar atau ekuivalen lebih dari Rp 20 Triliun.
“Penurunan impor sangat signifikan karena sebagian dari kebutuhan minyak mentah untuk kilang-kilang Pertamina sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri."
"Dengan adanya penyerapan minyak mentah domestik ini, maka sangat mendukung kehandalan supply untuk kilang-kilang Pertamina sehingga dapat meningkatkan kinerja dan profitabilitas kilang,” ujarnya.
Hingga minggu ketiga April 2019, Pertamina telah melakukan kesepakatan untuk pembelian minyak dan kondensat dalam negeri sebanyak 137 ribu barel per hari (MBCD) yang berasal dari 32 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Pembelian minyak dan kondensat domestik yang paling berpengaruh adalah bagian dari eks PT Chevron Pacific Indonesia untuk jenis Duri dan SLC, yang jumlahnya mencapai 2-3 juta barel per bulan.
"Dengan pasokan tersebut, saat ini Pertamina tidak lagi mengimpor minyak mentah jenis heavy dan super heavy dan hanya mengimpor jenis light and medium crude," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Daryono) (Kompas.com/Akhdi Martin Pratama)