Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kedaulatan Energi dalam Larangan Ekspor Nikel
Bagaimanapun, kedaulatan suatu negara ditentukan oleh kemandirian dan kepercayaan dirinya di tengah tekanan global.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh : Bahtiar A. Hamdy*
TRIBUNNEWS.COM - Bagaimanapun, kedaulatan suatu negara ditentukan oleh kemandirian dan kepercayaan dirinya di tengah tekanan global.
Ungkapan Presiden Soekarno pada HUT Indonesia 1963, “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sendiri, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka”, akhir – akhir ini diimplementasikan Pemerintah RI dalam pelarangan ekspor nikel.
Ketegasan Presiden Jokowi yang bersiap menghadapi gugatan Uni Eropa terhadap pelarangan tersebut, membuktikan bahwa Pemerintah berusaha meningkatkan kemandirian energi, dibanding tunduk pada kepentingan asing.
Gugatan Uni Eropa tersebut bukan tanpa alasan.
Nikel dianggap sebagai “emas masa depan” yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bermacam jenis kebutuhan manusia, dari stainless steel, campuran baja, hingga baterai mobil litsrik.
Begitu berharganya nikel, membuat komoditas tersebut sedang dicari banyak pihak.
World bank bahkan memperkirakan harga nikel akan terus beranjak naik dari $14.140/mt pada 2019 akan menjadi $18.000/mt pada tahun 2030, bahkan lebih.
Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai produsen terbesar peralatan rumah tangga dan mobil listrik, dibuat panik dengan pelarangan ekspor nikel Indonesia, yang notabene adalah eksportir nikel terbesar kedua untuk negara – negara Uni Eropa.
Keputusan Indonesia tersebut juga diatensi dunia, karena Indonesia merupakan eksportir nikel nomor 6 terbesar untuk refined nickel (Class I), yang menguasai 27 % pasokan nikel dunia.
Menurut data International Nickel Study Group (INSI), pada 2017, Indonesia bahkan tercatat mengekspor 63 % charge nickel (Class II) ke seluruh dunia.
Data tersebut membuktikan bahwa posisi Indonesia sangat signifikan sebagai pemain utama produsen nikel dunia.
Di sisi lain, seksinya komoditas nikel tersebut ternyata membuat perdagangan nikel dunia gonjang – ganjing, setidaknya sejak empat tahun terakhir.
Export nikel dunia dilaporkan selalu naik dari tahun 2009 sampai 2015, namun perlahan menurun tajam mulai 2015 sampai sekarang.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari proyeksi kebutuhan nikel yang semakin tinggi di masa depan, yang menuntut pemain nikel membuat strategi khusus dalam menghadapinya.
Sebut saja Tiongkok yang mengimpor lebih dari 50 % komododitas nikel dunia sejak 2015, telah membangun strategi penimbunan nikel untuk kepentingan domestiknya.
Begitupun Indonesia yang bertindak dengan percepatan pelarangan ekspor nikel yang sedianya dilaksanakan pada tahun 2022, menjadi efektif pada 1 Januari 2020.
Fakta tersebut menggambarkan bahwa masing – masing negara yang mempunyai kepentingan terhadap komoditas nikel, makin menyadari bahwa produksi nikel dalam negeri akan lebih menguntungkan untuk keperluan domestik.
Bahkan meskipun pembangunan smelter di Indonesia belum sesuai harapan, Pemerintah lebih memilih untuk melarang ekspor nikel mentah, agar cadangan nikel dalam negeri tetap terjaga.
Kebutuhan Baterai Mobil Listrik Nasional
Salah satu alasan penimbunan nikel tersebut adalah untuk komponen mobil listrik. Mobil listrik diprediksi akan menguasai industri otomotif pada masa depan, menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil.
Pada 2025, diperkirakan 15 juta mobil listrik akan melaju di jalan raya yang secara langsung akan mendongkrak kebutuhan nikel sebagai bahan baku baterai lithium sekitar 10 – 40 % dari permintaan pasar saat ini.
Menghadapi situasi tersebut, Pemerintah Indonesia secara khusus tengah menyusun roadmap mobil listrik, salah satunya dengan penerbitan Perpres 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Selain karena listrik dapat diproduksi sendiri, total potensi bahan bahan baku nikel sebesar 23,7 % cadangan dunia, cukup menjamin optimisme Indonesia dalam menghadapi kompetisi mobil listrik ke depan.
Nantinya, dengan adanya peningkatan penggunaan mobil listrik, diharapkan negara tidak lagi terbebani oleh impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang membuat defisit neraca dagang.
Ketergantungan terhadap rantai pasokan BBM dari luar negeri pun dapat dihindari sehingga mampu melahirkan sustainability dan kemandirian energi.
Kemandirian Energi
Melimpahnya cadangan nikel Indonesia juga bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik investasi bagi perusahaan asing untuk perluasan industri.
Dukungan pemberian insentif fiskal seperti tax holiday untuk industri baterai dan motor listrik juga diyakini mampu menarik minat investor, yang mau tidak mau, harus mengikuti kebijakan Indonesia sebagai pemain utama komoditas nikel dunia.
Dengan percepatan pelarangan ekspor nikel mentah, Indonesia juga telah mengambil langkah strategis berjangka panjang, agar tidak hanya menjadi penonton dan konsumen kendaraan listrik di masa depan.
Oleh karena itu, kebijakan percepatan pelarangan nikel mentah oleh pemerintah harus mendapat dukungan semua pihak, baik pelaku industri maupun masyarakat secara umum.
Strategi hilirisasi produk mineral, yang dimulai dengan nikel, patut diapresiasi sebagai upaya kemandirian bangsa di tengah persaingan global yang menuntut keberanian sebuah bangsa merdeka.
Gugatan Uni Eropa terhadap keputusan pelarangan ekspor nikel tersebut, merupakan milestone yang harus dihadapi sebagai proses menuju kedaulatan bangsa dalam mempertahankan sumber daya alamnya.
Sudah selayaknya bagi bangsa yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, juga mampu memanfaatkannya sebagai modal bagi kemandirian energi demi keberlangsungan bangsa yang sejahtera dan berdaya saing.
* Mahasiswa Program Magister Kajian Ketahanan Nasional – Universitas Indonesia