Ekonom: Pemerintah Tak Bisa Terus Andalkan Penerimaan Cukai hanya Pada Tiga Objek
Pasalnya target penerimaan cukai terus tumbuh setiap tahun, sedangkan barang kena cukai hanya sebanyak tiga objek.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) guna menekan tingkat konsumsi rokok serta menggenjot penerimaan negara dinilai sejumlah pengamat tidak tepat.
Satu di antaranya disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurutnya, kebijakan pemerintah melakukan ekstesifikasi cukai atau perluasan objek cukai dalam menurunkan dampak negatif belum berjalan efektif.
Karena itu, kata dia, pemerintah tidak bisa mengandalkan terus menerus pada penerimaan cukai hanya pada produk hasil tembakau, alkhohol, dan minuman beralkohol.
Pasalnya target penerimaan cukai terus tumbuh setiap tahun, sedangkan barang kena cukai hanya sebanyak tiga objek.
"Objek kena cukai tidak berubah sejak undang-undang cukai diberlakukan pada tahun 1995 hingga saat ini," kata Bhima Yudhistira Adhinegara dilansir Warta Kota Senin (27/1/2020).
"Jika pungutan cukai hanya ketiga objek ini, tidak akan mendukung penerimaan cukai ke depan," tambahnya.
Bhima Yudhistira Adhinegara membandingkan objek cukai di Indonesia dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Objek cukai di Indonesia diungkapkannya tertinggal dengan objek negara-negara ASEAN yang rata-rata memungut cukai pada tujuh objek.
"Bahkan di Thailand ada cukai kendaraan bermotor karena asapnya dianggap jadi sumber polusi udara," terangnya.
Bhima Yudhistira Adhinegara menilai terdapat objek potensial lainnya yang semestinya dikenakan pajak oleh pemerintah.
Objek pajak potensial tersebut antara lain minuman berpemanis, plastik kemasan hingga kendaraan bermotor pribadi.
"Objek pajak itu adalah objek yang ideal dikenakan cukai. Objek-objek tersebut perlu dikendalikan peredarannya di masyarakat sebagai bentuk pengendalian eksternalitas negatif.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan pemerintah segera melakukan ekstensifikasi cukai.
Tujuannya dijelaskannya untuk memperbaiki rasio penerimaan cukai terhadap Produk Domestik Bruto.
"Rasio penerimaan cukai terhadap PDB di Indonesia masih sangat kecil, bahkan lebih kecil dibandingkan rata-rata negara Amerika Latin," jelasnya.
Tarif Cukai Tembakau Naik
Dikutip dari Kontan.co, pemerintah akhirnya mengesahkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang baru akan berlaku 1 Januari 2020.
Sikap tegas pemerintah ini merupakan langkah negara untuk menekan konsumsi rokok sekaligus menggenjot penerimaan.
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Dalam PMK teranyar ini, rata-rata kenaikan tarif CHT tahun 2020 sebesar 21,55 persen.
Angka ini di bawah kenaikan tarif yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar 23 persen di Istana, beberapa waktu yang lalu.
Secara rerata, tarif CHT Sigaret Keretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95%, dan Sigaret Keretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan naik 12,84 persen.
Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengaku dikeluarkannya PMK 152 tersebut merupakan penegasan pemerintah dan sudah melalui pembahasan internal Kemenkeu, tim ahli, dan industri rokok.
“Dari sisi industri tenaga kerjanya banyak sudah dipertimbangkan. Ke depan ini diharapkan mampu membawa pengaruh terhadap penurunan rokok illegal,” kata Deni kepada Kontan.co.id, Selasa (22/10).
Pihaknya beralasan, lebih tingginya kenaikan tarif sebesar 23% yang diumumkan Menkeu tersebut, lantaran memperhitungkan volume hasil tembakau golongan atas alias pabrikan.
"23% merupakan rerata tertimbang. Tarif dalam PMK kalau dihitung rerata tertimbang, tetap naik 23%," kata Kasubdit Tarif Cukai DJBC Sunaryo kepada Kontan.
Di sisi lain, beleid tersebut menegaskan pada Pasal II ayat A yang menetapkan tarif cukai dengan dengan ketentuan sebagai berikut. Pertama, tarif cukai yang ditetapkan kembali tidak boleh lebih rendah dari tarif cukai yang berlaku.
Kedua, Harga Jual Eceran (HJE) tidak boleh lebih rendah dari batasan HJE per Batang atau gram yang berlaku.
Sementara pada PMK sebelumnya, tidak ada penyataan tegas dari pemerintah terkait hal tersebut. PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Bab XI Pasal 6 hanya mengatur HJE minimal sama dengan penerapan HJE pada tahun sebelumnya.
Oleh karenanya, dengan adanya PMK Nomor 152/PMK/2019 pemerintah memastikan keberlanjutan tarif HJE tidak lebih rendah daripada tarif sebelumnya. Artinya tahun 2021 harga jual eceran rokok harus lebih tinggi dari 35 persen.
Perubahan PMK 152 selanjutnya terdapat pada bagian menimbang bahwa cukai hasil tembakau merupakan pendapatan negara yang dikelola melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara yang memiliki peran penting dan strategis dalam pembiayaan program dan kinerja pemerintah.
Juga pembangunan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia secara terencana, tertib, aman, adil, dan berkesinambungan, sehingga terwujud kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sementara, pada PMK lama menimbang bahwa tarif CHT untuk pengendalian konsumsi barang kena cukai berupa hasil tembakau, kepentingan penerimaan negara dan memberikan kepastian arah kebijakan tarif cukai.
Selain itu, memudahkan pemungutan serta pengawasan barang kena cukai secara berkesinambungan.
Artinya pengandilan konsumsi bukanlah pertimbangan utama pemerintah saat ini, melainkan penerimaan negara.
Meski demikian, Ekonom Institude of Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rata-rata tarif cukai 21,55 persen masih seharusnya disambut wajar oleh para pengusaha rokok. Sebab, tahun ini tidak ada kenaikan tarif.
Menurutnya, tahun ini industri rokok sudah sangat diuntungkan. Alasannya, 80 persen pergerakan ekonomi industri rokok karena regulas.
Untuk itu, langkah pemerintah yang tidak menaikkan CHT di tahun ini dinilai sebagai insentif bagi industri.
Namun demikian, tarif CHT 21,55 persen dan HJE 35 persen menurut Enny akan membuat penyebaran rokok ilegal semakin meluas.
Sebab harga yang jual tiba-tiba melonjak mahal akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengendalikan rokok ilegal.
“Hal tersebut beresiko terhadap efektifitas pengendalian rokok ilegal dan jangan sampai malah penerimaan tidak tercapai,” ujar Enny kepada Kontan.co,id, Selasa (22/10).
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Pemerintah Tidak Bisa Andalkan Cukai Tembakau dan Alkohol untuk Genjot Penerimaan Negara, https://wartakota.tribunnews.com/2020/01/27/pemerintah-tidak-bisa-andalkan-cukai-tembakau-dan-alkohol-untuk-genjot-penerimaan-negara?page=all.