Mulai 14 Mei, Garuda Resmi Rumahkan 800 Karyawan Kontrak Selama 3 Bulan
Mereka yang dirumahkan adalah karyawan dengan status tenaga kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 makin berdampak kepada bisnis PT Garuda Indonesia Tbk (Persero).
Lantaran belum meredanya pandemi tersebut, maskapai penerbangan pelat merah itu terpaksa merumahkan 800 karyawannya.
Mereka yang dirumahkan adalah karyawan dengan status tenaga kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Mereka dirumahkan selama 3 (tiga) bulan, terhitung sejak 14 Mei 2020.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan, kebijakan
merumahkan karyawan dengan status PKWT tak dapat dihindari.
Alasannya untuk menjaga kondisi perusahaan di tengah industri penerbangan yang belum kembali normal karena Covid-19.
"Kebijakan tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang matang dengan memperhatikan kepentingan karyawan maupun perusahaan dan dilakukan dalam rangka menghindari dilakukannya PHK,” papar Irfan dalam keterangannya, Minggu (17/5/2020).
Saat ini, total ada 25.000 karyawan yang bekerja pada seluruh perusahaan di grup
Garuda Indonesia.
”Penerbangan belum normal. Jadi, kebijakan merumahkan karyawan dengan status PKWT tersebut merupakan upaya lanjutan yang perlu kami tempuh,” kata Irfan.
Menurut Irfan, kebanyakan yang terkena kebijakan tersebut adalah kru di bagian
operasional.
”Karena banyak juga PKWT di area tersebut,” ujarnya. Irfan menegaskan bahwa kebijakan ini hanya bersifat sementara.
Nantinya, ia akan terus mengkaji dan melakukan evaluasi secara berkala sejalan dengan kondisi perusahaan.
Ia berharap dalam waktu dekat kondisi Covid-19 di Indonesia terus membaik dan iklim usaha kembali kondusif.
"Selama periode tersebut karyawan yang dirumahkan tetap mendapatkan hak kepegawaian berupa asuransi kesehatan maupun tunjangan hari raya yang sebelumnya telah dibayarkan," kata dia.
Irfan menyebut kebijakan ini sebagai keputusan berat yang harus diambil dengan
pertimbangan mendalam.
Namun demikian Ia meyakini Garuda Indonesia akan dapat terus bertahan melewati masa yang sangat menantang bagi industri penerbangan saat ini.
Ia menyebut kebijakan ini juga telah melalui kesepakatan dan diskusi dua arah antara
karyawan dan perusahaan. ”Kebijakan ini telah diambil dengan pertimbangan matang
dengan memperhatikan kepentingan karyawan ataupun Garuda,” kata Irfan.
Sebelumnya, Garuda telah melaksanakan berbagai upaya strategis berkelanjutan dalam
memastikan keberlangsungan bisnisnya.
Beberapa langkah yang diambil adalah renegosiasi sewa pesawat, restrukturisasi jaringan, efisiensi biaya produksi.
Selain itu mereka telah menyesuaikan gaji jajaran komisaris, direksi hingga staf secara proporsional serta tidak memberikan Tunjangan Hari Raya kepada direksi dan komisaris.
Mulai Kamis (7/5/2020) pukul 00.01, Garuda Indonesia sebenarnya mulai terbang.
Baca: Pandemi Corona, Pengguna BNI Mobile Banking Naik 84 Persen
Layanan itu menindaklanjuti kebijakan pengendalian transportasi selama Ramadhan
dan Idul Fitri 1441 H, yang mengacu pada ketentuan Surat Edaran Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020.
Walau demikian, belum seluruh rute penerbangan dilayani. Jumlah penumpang juga
masih dibatasi sesuai dengan protokol kesehatan.
Baca: Hasil Audit BPK Temukan Pembiayaan LPEI Tak Sesuai Prinsip Tata Kelola
Minggu lalu, Irfan juga mengatakan tingkat keterisian pesawat juga maksimal hanya 50 persen demi mematuhi protokol kesehatan.
Tingkat keterisian pesawat juga maksimal hanya 50 persen demi mematuhi
protokol kesehatan.
Baca: Vivo Raih Peringkat Pertama Merek Smartphone Terbaik di Indonesia
Tidak hanya Garuda yang mengalami kesulitan. Secara global, berkurangnya
pergerakan pesawat menyebabkan berkurangnya pendapatan maskapai global.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat, maskapai penerbangan
sedunia dapat merugi hingga 113 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 1.948 triliun.
(tribun network/har/dod)