Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kopi Tapanuli, dari Sekedar Pembayar Utang Menjadi Tulang Punggung Ekonomi

kopi mendapatkan predikat sebagai “sigarar utang” (pelunas hutang). Ini karena kopi yang telah dipanen kemudian dijual untuk membayar utang pupuk

Editor: Sanusi
zoom-in Kopi Tapanuli, dari Sekedar Pembayar Utang Menjadi Tulang Punggung Ekonomi
ist
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Budaya ngopi semakin melekat dan menjadi kebiasaan hampir setiap orang. Jika dulu kebiasaan ngopi hanya ada di kampung dan di desa, kini telah merambah perkotaan.

Di Jakarta misalnya, banyak kafe yang menyediakan kopi premium dengan harga yang bisa dibilang tidak murah.

Salah satu daerah pemasok kopi dengan kualitas terbaik adalah daerah Tapanuli Sumatera Utara. Selama ini daerah tersebut menjadi sentra kopi arabika. Kontur pegunungan di Tapanuli membuat kopi jenis ini tumbuh subur dan memiliki rasa yang khas.

Mengutip data Dinas Perkebunan Sumatera Utara, pada 2018, produksi kopi dari wilayah ini mencapai 43.000. Jumlah tersebut menguasai 22% pangsa kopi arabika nasional, yang menurut data Kementerian Pertanian, total produksi secara nasional kopi jenis ini mencapai 187.031 ton.

Meski kopi arabika dari Tapanuli dihargai mahal di daerah lain terutama di Jakarta, namun kondisi berbeda dialami oleh petani kopi yang ada di daerah ini. Banyak petani kopi yang justru mengalami kesulitan ekonomi.

Baca: Harapan Kopi Bajawa Masuk Pasar Dunia, Gus Jazil: Dukung Berdirinya Sekolah Pertanian di Ngada

Baca: Singgah di Warung Bumdes, Jazilul Fawaid: Rasa Kopi Ende Sangat Khas

Karena itulah, kopi mendapatkan predikat sebagai “sigarar utang” (pelunas hutang). Ini karena kopi yang telah dipanen kemudian dijual untuk membayar utang pupuk para petani.

Salah seorang petani kopi di Tapanuli, Marojahan Simangunsong dari Desa Siantar Utara Kabupaten Toba merasakan hal ini. Terbatasnya pemahaman mengenai nilai ekonomi kopi membuat dirinya dan rekan petani lain tidak menggeluti pertanian kopi sebagai tulang punggung perekonomian. Bertani padi dan jagung menjadi yang utama, sedangkan kopi hanya sekunder.

Berita Rekomendasi

Dia mulai menanam kopi pada 2008 setelah pulang dari merantau. Seperti petani pada umumnya, Maraojahan melakukan penanaman kopi dengan cara konvensional, yakni menanam kopi dengan jarak tanam rapat agar banyak kopi yang dihasilkan. Padahal, cara bertanam seperti itu justru membuat petumbuhan dan produktifitas tanaman kopi tidak maksimal.

Pola bertanam tersebut mulai berubah saat Marojahan dan petani lainnya mendapat pengetahuan melalui pelatihan yang diadakan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) dan Pusat Penelitian Kakao dan Kopi Indonesia (Puslitkoka) pada tahun 2018.

Dalam pelatihan tersebut, para petani diajarkan mengenai budidaya kopi yang baik sesuai dengan Good Agricultural Practice (GAP) dari Puslitkoka melalui pemangkasan, pemupukan, penyiangan secara rutin. Termasuk memberikan pohon pelindung.

Kini Marojahan kini mampu meningkatkan kapasitas produksi kopi yang dihasilkan oleh lahannya. Pengetahuan dari pelatihan mampu meningkatkan produksi kopinya walau belum dengan angka yang terlalu signifikan.

Kini, Marojahan dan para petani lainnya tak lagi menganggap kopi hanya sekedar sebagai sigarar utang atau pembayar utang, tapi lebih menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi.

Sementara itu, Direktur Toba Pulp Lestari Jusuf Wibisono menjelaskan program pendampingan petani kopi ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan.

“Kami terus berkomitmen untuk melakukan pendampingan terhadap para petani kopi di sekitar Toba agar perekonomian mereka bisa terangkat dan lebih baik. Bagaimanapun, para petani itu memiliki harta yang bernilai tinggi yang berasal dari kopi yang mereka tanam,” jelas Jusuf dalam keterangannya, Senin (3/8).

Program pendampingan terhadap petani kopi adalah salah satu program CSR yang dijalankan perseroan, di samping kegiatan lainnya seperti halnya pendidikan dan pembangunan infrastruktur publik.

Toba Pulp Lestari mengalokasikan dana CSR sebesar 1% dari revenue yang diperoleh perusahaan tiap tahunnya untuk mendukung berbagai program yang telah dicanangkan. Rasio tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan ketentuan pemerintah, yakni sebesar 2,5% dari laba bersih.

“Toba Pulp Lestari senantiasa memberikan nilai tambah bagi stakeholders, masyarakat, serta lingkungan sekitar wilayah operasional perusahaan,” kata Jusuf.

Artikel Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Kopi Tapanuli, dari sekedar pembayar utang jadi tulang punggung ekonomi

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas