Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Akui Indonesia Resesi Teknikal, Komite Penanganan Covid-19 Hindari Gelombang PHK

Raden menilai Indonesia sudah resesi pada kuartal II lalu dan akan lebih parah lagi jika ekonomi kuartal III 2020 juga kembali minus.

Editor: Sanusi
zoom-in Akui Indonesia Resesi Teknikal, Komite Penanganan Covid-19 Hindari Gelombang PHK
Wartakota/Angga Bhagya Nugraha
Seorang warga melintasi deretan toko yang tutup di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (3/4/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 akan turun menjadi 2,3 persen dan dalam skenario terburuk bahkan bisa mencapai -0,4 persen akibat dampak dari pandemi COVID-19. (Wartakota/Angga Bhagya Nugraha) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Raden Pardede mengakui Indonesia sudah mengalami resesi secara teknikal.

Sebab, perbandingan dengan periode sama pada 2019 mengalami kontraksi yakni menjadi 2,97 persen pada kuartal I dan minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.

Raden menilai Indonesia sudah resesi pada kuartal II lalu dan akan lebih parah lagi jika ekonomi kuartal III 2020 juga kembali minus.

"Jadi, secara teknis memang kita sudah kontraksi di kuartal II. Kalau kontraksi lagi kuartal III baru kita menyebutkan itu sebagai resesi," ujarnya saat teleconference, Senin (10/8/2020).

Menurutnya, label resesi mempengaruhi dari sisi psikologis masyarakat, sehingga pemerintah mencegah sekuat tenaga agar itu tidak terjadi.

"Namanya resesi itu coba dihindari karena punya dampak psikologis. Dampak resesi yakni penciptaan lapangan kerja sangat rendah dan terjadi gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja)" kata Raden.

BERITA REKOMENDASI

Karena itu, pemerintah disebutnya sangat menghindari namanya resesi saat pandemi Covid-19 ini dengan melakukan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Pemerintah tentu mengambil langkah-langkah lebih serius. Tujuannya, untuk ke depan ini mencegah resesi," pungkasnya.

Tidak Kaget

Sementara itu, Raden Pardede mengaku tidak kaget ekonomi Indonesia minus 5 persen lebih atau tepatnya 5,32 persen pada kuartal II 2020.

Menurutnya, tanda-tanda ekonomi kontraksi sudah ada sejak April atau ketika berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Baca: Pertumbuhan Ekonomi Minus, Menkeu: Indonesia Belum Alami Resesi

Baca: Jerman Masuk Resesi Setelah Pertumbuhan Ekonomi Minus Dua Kuartal Berturut

"Pertama, kita tidak kaget karena kita lihat dari berbagai data-data sebelumnya yang kita sebut dengan indikator dini. Itu menunjukkan memang penurunan kegiatan perekonomian sejak bulan April," ujarnya saat teleconference, Senin (10/8/2020).

Meski sebenarnya mulai ada penurunan saat Maret, Raden menjelaskan, puncaknya ekonomi merosot pada periode April dan Mei 2020.

"April dan Mei sangat drastis. Sebab, secara sengaja pemerintah menganjurkan supaya bekerja dari rumah, juga menganjurkan tidak bepergian baik itu di dalam kota dan ke luar kota," katanya.

Kendati demikian, dia menambahkan, pemerintah sama sekali tidak mengharapkan perekonomian negatif, meski kenyataannya tidak bisa dihindari.

"Jadi, bukan hal mengejutkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Meskipun bukan yang diharapkan, tapi kita juga mencoba bandingkan dengan negara lain yang mengalami krisis, misal China pada kuartal I minus 6,5 persen, Indonesia belum minus, kita masih tumbuh 2,97 persen," pungkas Raden.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas