Industri Asuransi Jiwa Cairkan Rp 216 Miliar Klaim Polis Terkait Covid-19
Industri asuransi jiwa telah mencairkan klaim polis asuransi terkait Covid-19 sebesar 216 miliar yang berasal dari 1.642 polis.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah perusahaan asuransi jiwa Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) telah mencairkan klaim polis asuransi terkait Covid-19 sebesar 216 miliar yang berasal dari 1.642 polis.
Hal itu dikemukakan Budi Tampubolon, Ketua Dewan Pengurus AAJI dalam diskusi virtual dengan media yang diikuti Tribunnews di Jakarta, Jumat (25/9/2020).
“Industri asuransi jiwa telah membayarkan klaim terkait Covid-19 sebesar Rp216 miliar untuk 1.642 polis. Sebesar 1.578 diantaranya merupakan klaim produk asuransi kesehatan dengan nilai Rp 200.643.549.670 atau 92,9% dari total klaim," ungkap Budi Tampubolon.
Budi menjelaskan, di masa sulit ini, industri asuransi jiwa bersyukur dapat meringankan beban masyarakat melalui pembayaran klaim kepada nasabah yang tersebar di wilayah Indonesia dan juga luar negeri seperti Singapura dan Amerika Serikat.
"Kami mengimbau kepada seluruh nasabah untuk tetap menjaga polis perlindungan jiwa dan kesehatannya tetap aktif ditengah pandemi dan tidak melakukan surrender/pemutusan kontrak asuransi, agar tetap dapat memiliki proteksi asuransi jiwa,” ujar Budi.
Baca: Terpukul Covid-19, Pendapatan Premi Industri Asuransi Turun 2,5 Persen di Semester I 2020
Menghadapi kondisi pandemi dan sebagai langkah untuk semakin mendorong pertumbuhan industri asuransi jiwa di Indonesia, Budi menyatakan, AAJI senantiasa berkoordinasi dengan regulator terkait, termasuk OJK untuk mengambil langkah-langkah strategis bagi industri.
Baca: Asuransi Jiwa Ini Siap Tanggung Biaya Pengobatan Nasabah yang Terinfeksi Corona
Diantaranya, mendukung penerapan regulasi yang mendorong inovasi dan digitalisasi dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.
Baik dalam hal pemasaran produk asuransi dan pemberian layanan kepada nasabah, termasuk penguatan pengaturan mengenai pemasaran Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI) atau UnitLink melalui tatap muka langsung secara digital yang saat ini sudah diperkenankan dalam rangka menyikapi dampak penyebaran Covid-19.
AAJI juga melakukan percepatan pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP) untuk kepastian perlindungan bagi nasabah dan mendorong inklusi dan literasi keuangan melalui berbagai media digital.
“AAJI juga terus berupaya mendorong percepatan pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP) Asuransi yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) 40/2014 tentang Perasuransian," beber Budi Tampubolon.
Pembentukan LPPP ini diyakini akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa dan juga mengimbau kepada seluruh anggotanya untuk terus menjalankan program inklusi dan literasi keuangan.
"Agar masyarakat mendapatkan manfaat dari beragam produk asuransi jiwa untuk perlindungan dan perencanaan keuangan bagi ketahanan keluarga Indonesia,” kata Budi Tampubolon.
Kasus Gagal Bayar
Terkait kasus gagal bayar dalam industri asuransi jiwa, Budi Tampubolon menegaskan, produk saving plan sudah dikenal di industri asuransi jiwa di Indonesia sejak pertengahan tahun 90-an dan produk serupa juga ditemui di industri asuransi jiwa di banyak negara lain.
Dia mengatakan, produk saving plan merupakan salah satu alternatif pilihan dari produk-produk asuransi jiwa seperti asuransi perlindungan kecelakaan (personal accident), asuransi jiwa berjangka (term life), asuransi jiwa seumur hidup (whole life), asuransi dwiguna (endowment), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi penyakit kritis (critical illness), dan unit-link yang tersedia bagi masyarakat untuk melindungi diri dan keluarganya.
"Produk saving plan bermanfaat dengan memberikan perlindungan terhadap risiko jiwa sekaligus memberikan tambahan manfaat investasi saat akhir kontrak asuransi atau apabila terdapat penghentian pertanggungan," kata dia.
Budi mengatakan, produk saving plan memberikan kontribusi signifikan bagi industri asuransi jiwa, walaupun tidak semua perusahaan menjual produk tersebut.
"Jika terdapat persepsi atau pemahaman yang salah di masyarakat maka hal ini harus diluruskan kembali sesuai dengan regulasi yang mengatur,” jelasnya.