Menkeu Mulai Waspada Rasio Utang Indonesia Meroket Selama Pandemi
Total utang Indonesia sendiri tercatat hingga akhir September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Utang di semua negara mengalami kenaikan akibat adanya kebijakan fiskal countercyclical selama pandemo Covid-19.
Adapun fiskal countercyclical artinya mengambil pendekatan sebaliknya, yaitu mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak selama ekonomi sedang booming, serta meningkatkan pengeluaran dan memangkas pemungutan pajak ketika sedang dalam masa resesi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan tidak hanya negara anggota G-20 saja yang utangnya mengalami kenaikan, tetapi hampir seluruh negara.
Bahkan untuk kategori negara maju di anggota G-20 kenaikan rasio utangnya terhadap GDP meningkat.
"Mereka (negara maju G-20) rata-rata utang selama ini sebelum krisis (pandemi Covid-19) sudah ada di tingkat yang cukup tinggi yaitu sekira 100 persen dari GDP. Sekarang melonjak di sekira 130 persen GDP," ujarnya dalam konferensi pers 'APBN KiTa Edisi November 2020' secara virtual, Senin (23/11/2020).
Sri Mulyani menjelaskan, rasio utang negara berkembang di G-20 juga mengalami peningkatan meski tidak sedahsyat negara maju.
Baca juga: Realisasi Pembiayaan Utang Pemerintah Sampai Oktober 2020 Mencapai Rp 958,6 Triliun
"Untuk G-20 emerging country rata-rata utang mereka adalah di sekira 50 persen dari GDP. Sekarang naik menjadi hampir mendekati 60 persen atau 70 persen dari GDP," katanya.
Total utang Indonesia sendiri tercatat hingga akhir September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun.
Dengan angka tersebut maka rasio utang pemerintah sebesar 36,41 persen terhadap PDB. Total utang pemerintah terdiri dari pinjaman sebesar Rp 864,29 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.892,57 triliun.
"(utang) Indonesia di sekitar 30 persen, sekarang naik ke 36-37 persen tapi kita tetap waspada menjaga semua lini agar ekonomi membaik. Memang masih ada di bawah (rata-rata). Namun, itu tidak berarti kita tidak waspada, kita tetap akan terus menjaga kondisi semua hal semua hal ini supaya ekonominya tetap baik dan fiskalnya berkelanjutan," ujar Sri Mulyani.
APBN Defisit
Bendahara negara juga memaparkan realisasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 764,9 triliun per akhir Oktober 2020.
Sri Mulyani menjelaskan, jumlah defisit tersebut setara dengan 4,67 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
"Defisit APBN kita mencapai Rp 764,9 triliun atau 4,67 persen dari GDP," ujarnya.