Kisah Jatuh-Bangun Edwin Soeryadjaya: Kenangan Pahit Sang Ayah Harus Jual Astra karena Bank Summa
Saat ini Edwin Soeryadjaya menjadi komisaris utama perusahaan tambang batubara besar, Adaro Energy Tbk.
Editor: Choirul Arifin
Ayah Edwin adalah sosok yang tidak pernah berlaku kasar kepada anak-anaknya.
"Mungkin ayah saya itu salah satu yang bisa dihitung dengan jari yang di Indonesia itu tidak pernah 'ngemplang,'" tutur Edwin.
Kondisi-kondisi sulit setelah melepas Astra itu dijalani keluarga Soeryadjaya dengan penuh kerja keras dan ketabahan. Bersama ayahnya, Edwin tidak pernah menyerah pada keadaan sulit yang dihadapi.
Mereka saat itu justru terus berikhtiar mengembangkan potensi-potensi yang ada.
"Yang utama waktu itu saya lihat anak-anak saya masih kecil, jadi saya harus menghidupi merek. Saya putar otak, putar otak," kata Edwin.
Banyak usaha-usaha yang pada masa sulit itu justru kembali ditekuni Edwin. Saat berusaha untuk bangkit, Edwin mendengar kabar bahwa PT Telkomsel akan mendapat kontrak dengan swasta untuk melakukan pembangunan.
Kebetulan, pada saat masih di Astra, Edwin pernah mengayomi PT Telkomsel. "Memang segala sesuatu itu bukan kebetulan ya," ujar Edwin.
"Saya mengetahui bahwa Telkom itu akan diberi privatisasi karena permintaan dari World Bank dan IMF," kata Edwin.
Saat itu dimulai program kerjasama operasi (KSO) untuk mengembangkan perekonomian Indonesia.
Pemerintah kala itu melihat tidak bisa korporasi hanya depending on fund domestic. "Jadi harus ada juga dari swasta dan juga dari luar negeri," kata Edwin singkat.
"Waktu itu Telkom di bawah pengawasan World Bank melakukan investasi, saya walaupun tidak punya kemampuan, saya mengetahui bahwa ini mestinya sangat menguntungkan," ujar Edwin.
Edwin bergegas mencari mitra dari luar negeri untuk menggarap tender PT Telkomsel. Sedikitnya ada sekitar 50 perusahaan yang ingin ikut tender tersebut.
Namun, tahun 1998, kondisi perekonomian Indonesia mengalami krisis. Dari pengamatan Edwin, setiap krisis ekonomi terjadi, akan ada banyak perusahaan-perusahaan besar yang tumbang.
"Waktu saya berusaha, kembali ke 1998, saat itu ada krisis Asia, financial crisis, waktu mulai kejadian, saya bilang waduh, biasanya kalau ada krisis itu, banyak perusahaan yang akan tumbang," kata Edwin.