Pemerintah Perlu Perbaiki Penanganan Data Kebutuhan dan Produksi Pangan
negara produsen pangan tak mau ekspor, mementingkan kepentingan nasional seperti yang dilakukan Vietnam dan India
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Guntur Subagja Mahardika mengatakan, selama ini ada semacam kepanikan bahwa Indonesia kekurangan pangan.
Hal itu terjadi karena belum akuratnya peta kondisi pangan Indonesia.
"Setiap tahun ada kebiasaan impor pangan, padi 1,1 juta ton, jagung 1 juta ton, kedelai 2,6 juta ton. Kami petakan kembali kondisi pangan kita , ketika PSBB memang mendisrupsi distribusi," ungkapnya.
Baca juga: Marwan: BUMN Pangan Harus Terintegrasi dengan Baik
"Kenapa perlu melihat ini karena selama pandemi Covid-19, negara produsen pangan tak mau ekspor, mementingkan kepentingan nasional seperti yang dilakukan Vietnam dan India. Makanya ada kekhawatiran krisis pangan," ujar Guntur dalam diskusi virtual dengan media membedah topik Mengukur Ketahanan Pangan Nasional di Jakarta, Sabtu (30/1/2021).
Dia menambahkan, ketika Covid-19 muncul, tiba-tiba ada publikasi ancaman kemarau, tapi hal itu tidak terjadi.
Malah yang terjadi cuaca ekstrem.
"Beras surplus mestinya tidak perlu impor, cuma persepsinya dibentuk kurang pangan, sehingga setiap tahun rencanakan impor, beberapa rekomendasi itu di akhir tahun terancam kekurangan pangan," ungkapnya.
Baca juga: Mentan Syahrul Ajak HKTI Wujudkan Ketahan Pangan
Dia menambahkan, hal ini perlu menjadi perhatian karena Presiden Jokowi juga memberikan concern mengenai ini.
"Kita tak punya data akurat tentang pangan kita. Kendala bahan baku jagung misalnya. Ketika pandemi, jawaban dari produsen lokal, 'kami tak impor lagi, sudah dipenuhi lokal.' Ini menarik dan perlu ditelaah. Saya khawatir karena publikasi, karena datanya nggak akurat, ada kepentingan tertentu untuk impor," imbuhnya.
Dia mencontohkan, di komoditi kedelai memang Indonesia mengimpor 2,6 juta ton per Desember, karena Indonesia hanya mampu memproduksi 300 ribu ton dan itu sangat kecil.
Dia mengatakan, sejauh ini belum ada kabar sebuah daerah di Indonesia mengalami rawan pangan.
Baca juga: Dukung Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan, Polri Terbitkan Surat Telegram
"Logikanya, ketika kebutuhan konsumsi pangan tinggi, itu tidak terjadi. Justru terjadi disparitas harga di Aceh dan daerah lain, ada beda harga."
"Jadi bukan pada produksi tapi distribusi, makanya data itu penting. Bank Indonesia punya data pusat informasi harga pangan, hal itu perlu diperkuat basis data," imbuhnya.