Anggaran untuk Impor Beras Sebaiknya Dialokasikan Membeli Beras dari Petani dan Lahan Food Estate
Anggaran untuk impor beras sebaiknya dialokasikan membeli beras yang akan segera panen pada area food estate.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan mengimpor satu juta ton beras pada tahun 2021 dinilai bisa merugikan petani. Padahal para petani saat ini sudah berupaya terus meningkatkan produksi beras.
"Impor beras ini mengganggu kedaulatan pangan Indonesia dan juga merugikan petani," ujar Anggota Komisi IV DPR, Hermanto, Minggu (14/3/2021).
Menurutnya, anggaran untuk impor beras sebaiknya dialokasikan membeli beras yang akan segera panen pada area food estate.
"Lebih baik digunakan untuk membeli beras dari petani dan lahan food estate, agar hasil panen raya terserap semua guna mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani," tuturnya.
Hermanto pun menyebut, petani saat ini mengalami berbagai persoalan, seperti irigasi, pupuk, maupun penyerapan pemerintah terhadap produk pertanian.
"Persoalan cuaca, longsor, banjir yang berakibat pada perluasan lahan yang tidak efektif dan tidak produktif terhadap lahan pertanian," ucap Hermanto.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan akan melakukan impor beras sebanyak 1 sampai 1,5 juta ton, yang dilakukan melalui penugasan kepada Perum Bulog untuk memenuhi kebutuhan tahun 2021.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021, pada 4 Maret lalu.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mengkaji kemungkinan impor komoditas lainnya selain beras, seperti daging dan gula.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, rencana impor beras pada tahun ini harus ditolak, karena tidak tepat dilakukan saat panen raya di berbagai daerah.
"Kenapa pemerintah ketika ada panen, harus ada narasi impor beras? Meskipun ini baru rencana. Adanya narasi ini membuat harga gabah di tingkat petani jadi turun," ucap Rusli.
Menurut Rusli, narasi impor beras, sangat dimungkinkan dimanfaatkan oleh oknum untuk mengambil keuntungan dengan menekan harga gabah petani.
Baca juga: Prabowo - Airlangga Bertemu, Bahas Politik, Perekonomian hingga Food Estate
Baca juga: Kementan Bentuk Tim Pendampingan Food Estate
"Oknum ini bisa saja bilang ke petani, kamu mau tidak jual gabah ke saya, kalau tidak harga turun karena akan ada impor beras," papar Rusli.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk segera menetralisir narasi impor beras yang saat ini berkembang liar di masyarakat.
"Harus diclearkan, ini adalah rencana dan berasnya hanya untuk cadangan Bulog. Jadi dipastikan tidak akan keluar ke pasar, impornya juga jangan sekarang, nanti bulan Agustus," katanya.
Selain itu, kata Rusli, pemerintah perlu juga menyampaikan ke petani, jika ada oknum yang beli gabah dengan harga murah sembari menyampaikan narasi akan ada impor beras, agar segera dilaporkan untuk ditindak.
"Pembeli ini harus dilaporkan, karena dia sengaja memanfaatkan momentum ini untuk menekan harga gabah petani," ujar Rusli.
Terpisah, guna mendorong peningkatan ekspor pertanian dan ekonomi berkelanjutan, diperlukan sinergi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Demikian dikatakan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat melakukan pelepasan ekspor bersama produk pertanian senilai Rp 140 miliar ke-12 negara.
"Kerja sama ini merupakan permulaan untuk memastikan Indonesia mempunyai eksportir baru, sehingga ekonomi terus berkelanjutan dimasa yang akan datang," ujar Lutfi.
Komoditas yang diekspor pada kesempatan itu terdiri 34 jenis, di antaranya pentol bakso, sarang burung walet, pakan ternak, premik, cicak kering, lipan kering.
Kemudian, asam amino hewan L- Lysine sulfate, pakan ternak, susu pasteurisasi, susu, kelapa bulat, mentega kakao, bubuk kakao, biji kopi, cengkeh, dan serat campuran (sillage) allformilk.
Komoditas tersebut diekspor ke 12 negara tujuan, yaitu Amerika Serikat, Hongkong, Timor Leste, Jerman, Brunei Darussalam, Thailand, Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan, Mesir, Singapura, dan Bangladesh.
Menurutnya, perdagangan menjadi salah satu sektor yang terpenting dalam menggeliatkan ekonomi.
"Dengan jumlah konsumsi Indonesia yang mencapai 59 persen dari produk domestik bruto Indonesia, kita harus menjaga konsumsi agar masyarakat dapat menggerakkan industri dan ekspor meningkat," ujarnya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, sesuai arahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), sinergi lintas kementerian harus ditingkatkan.
Baca juga: Adanya Impor Beras Bisa Buktikan Kuatnya Mafia Pangan Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah
Baca juga: Komisi IV DPR: Pemerintah Harus Kaji Ulang Rencana Impor 1 Juta Ton Beras
Hal ini sebagai langkah strategis dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional, di tengah tantangan pandemi Covid-19 saat ini.
"Menghadapi pandemi ini dengan berbagai dampak yang ada, maka kerja sama antar sektor harus ditingkatkan," ucapnya.
Berdasarkan data Badan Karantina Pertanian Kementan secara nasional produk pertanian yang diekspor hingga Maret 2021 sebanyak 81,3 ribu ton dengan nilai mencapai Rp 1,26 triliun.
Komoditas itu terdiri dari tanaman pangan sebanyak 8,5 ribu ton senilai Rp 125,8 miliar (9,95 persen), hortikultura sebanyak 487,9 ton senilai Rp 47 miliar (3,71 persen).
Lalu, perkebunan sebanyak 72,2 ribu ton senilai Rp 997,3 miliar (78,9 persen), dan peternakan sebanyak 27,8 ribu ton senilai Rp 94 miliar (7,43 persen).(Tribun Network/sen/wly)