Soal Pembentukan Kementerian Investasi, Anggota PKS: Faktor Penghambat Investasi Harus Dihilangkan
WEF disebutnya menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati angkat bicara terkait pembentukan Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja.
"Jika melihat tujuan pembentukan Kementerian Investasi adalah meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja, saya kira pembentukan Kementerian Investasi bukan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan investasi di tanah air,” ujar Anis, kepada wartawan, Kamis (15/4/2021).
“Kalaupun direalisasikan, kementerian ini hanya akan menyelesaikan persoalan di bagian hilir investasi saja,” tambahnya.
Anis yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menyampaikan data bahwa World Economic Forum (WEF) pernah merilis 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia.
Baca juga: Berinvestasi di Bitcoin Bisa Bermodalkan Rp 20 Ribu
“Dari 16 faktor tersebut, korupsi menjadi kendala utama yang sangat menggangu dan merugikan,” kata Anis.
WEF disebutnya menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia.
Baca juga: 10 Tahun Terakhir, Kerugian Masyarakat Akibat Investasi Ilegal Tembus Rp 114,9 triliun
“Maraknya praktik suap, gratifikasi, dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan, mengakibatkan sejumlah dampak serius terhadap investor,” jelas Anis.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menjelaskan faktor kedua yang mempengaruhi investasi di dalam negeri adalah inefisiensi birokrasi dengan skor 11,1. Dilanjutkan dengan akses ke pembayaran dengan skor 9,2, infrastruktur tidak merata dengan skor 8,8 dan kebijakan tidak stabil dengan skor 8,6 yang melengkapi 5 faktor utama.
Anis juga memaparkan data lain yang terkait dengan posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari Bank Dunia (2020) yang dalam banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi dari birokrasi.
Baca juga: Kalangan Anak Muda Harus Cerdas Berinvestasi di Masa Pandemi, Simak Tipsnya
EDBBD menempatkan Indonesia berada di level 73. “Level yang menunjukkan posisi relative masih rendah,” ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, ranking Indonesia selama tiga tahun terakhir relative stagnan dan masih di bawah negara-negara tetangga di ASEAN. Sebut saja Singapura di posisi ke 2, Malaysia di posisi 12, Thailand di posisi 21, Brunei di posisi 66, dan bahkan Vietnam di posisi 70.
Karenanya, laporan Bank Dunia yang berjudul “Global Economic Risk and Implications for Indonesia”, menyatakan Indonesia dinilai berisiko, rumit, dan tak kompetitif.
Hal lain yang menjadi penghambat investasi, kata Anis, adalah faktor regulasi yang seringkali tidak terprediksi, inkonsisten, dan saling bertentangan.
Selain itu, yang juga sering kali mengganjal investasi dalam negeri adalah instabilitas pemerintah yang mendapat skor 6,5 dan tarif pajak yang dirating 6,4. Kemudian etos kerja buruh mendapat poin 5,8, regulasi pajak 5,2, dan pajak 4,7. Kelima alasan ini melengkapi 10 besar faktor yang menjadi penghalang perkembangan inflasi di Indonesia.
“Jadi, persoalan investasi di Indonesia begitu kompleks, tidak bisa hanya diselesaikan dengan membuat kementerian dan lembaga baru. Hulu, tengah, serta hilir harus diselesaikan berkesinambungan. Pemerintah harus menghilangkan 10 besar faktor penghambat investasi, atau setidaknya hilangkan 5 faktor utama penghambat investasi,” pungkasnya.