Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Nusron Pertanyakan Rencana Bappebti Dirikan Digital Future Exchange (DFX) untuk Aset Kripto

Nusron Wahid menyambut baik rencana Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) akan mengatur perdagangan aset Kripto.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Nusron Pertanyakan Rencana Bappebti Dirikan Digital Future Exchange (DFX) untuk Aset Kripto
Ist
Anggota Komisi VI DPR RI, Nusron Wahid. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR, Nusron Wahid menyambut baik rencana Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) akan mengatur perdagangan aset Kripto.

Karena selain kapitalisasinya besar, juga supaya perdagangannya tidak liar dan ada kejelasan perlindungan terhadap konsumen dan investor.

Namun Nusron Wahid tidak setuju kalau untuk mengatur perdagangan ini harus dengan mendirikan bursa tersendiri yang bernama digital future exchange (DFX).

Menurut Nusron, trend di dunia itu ada integrasi market.

Di Indonesia sudah ada tiga bursa yaitu bursa efek Indonesia (BEI), dulunya ada dua bursa efek yaitu bursa efek jakarta (BEJ) dan bursa efek surabaya (BES).

Baca juga: 5 Cara Menghindari Investasi Kripto Bodong, Waspadai Skema Ponzi

Kemudian merger dan bergainning menjadi (BEI).

Bursa komoditi juga ada dua yaitu Bursa Berjangka Jakarta dan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX).

Berita Rekomendasi

"Saya kira kalau kemudian khusus untuk Kripto dibuatkan bursa DFX tersendiri berlebihan dan perlu dipertanyakan kredibilitasnya," kata Nusron dalam RDP dengan Bappebti, Selasa (29/6/2021).

Nusron mengungkapkan beberapa alasan kenapa rencana tersebut ia pertanyakan. 

Pertama, bagaimana mungkin bursa didirikan hanya utk satu komoditi.

Berbeda dengan BBJ dan ICDX yang diperdagangkan multi komoditi. Kedua, dari aspek filosofi dan regulasi masih tarik menarik antar stakeholder.

"Temen-teman Bursa Efek Indonesia dan OJK Pasar Modal menganggap karena ini definisinya aset kripto berarti ini masuk kategori modal bukan komoditi, sehingga harus dibawah pengaturan Bursa Efek bukan bursa komoditi atau bursa tersendiri. Pada satu sisi lain; chripto currency karena namanya digunakan sebagai alat pembayaran Bank Sentral juga merasa itu harus diatur oleh bank central," terang Nuston.

Lebih lanjut, politikus Partai Golkar ini mengubgkapkan, kripto-kripto ini sewaktu-waktu bisa dicabut dan dilarang peredarannya.

"Kalau dibuat bursa baru, apakah membuat bursa untuk memperdagangkan hal yang belum jelas?," ujarnya.

Alasan ketiga, lanjut mantan Ketua Umum GP Ansor ini, masalah kredibilitas penyelenggara bursa baru juga belum teruji, karena ini mengumpulkan dana besar dari masyarakat.

Jangan sampai kejadian seperti perdagangan emas yang pernah kabur, atau yang terjadi di Turki.

Dimana kripto diperdagangan sendiri di Bursa Aset Kripto Thodex yang membawa kabur duitnya, sehingga bursanya kolaps dan uang masyarakat hilang.

"Akibatnya masyarakat yang dirugikan. Mendingan kita optimalkan bursa yabg sudah ada, ditambahi unit digital kripto," tegas Nusron.

Sementara itu, Kepala Bappebti Indrasari Wisnu Wardhana mengungkapkan, sesuai dengan UU No 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Kripto tidak cocok dan tidak sesuai kalau diperdagangan di dalam bursa efek. Sebab tidak masuk kategori efek.

"Dalam UU Mata Uang jelas; bahwa yang sah dan boleh untuk alat bayar di Indonesia adalah rupiah. Jadi yang paling pas menurut UU ini masuk kategori komoditi. Hanya soal nama aset kripto karena berdasarkan kesepakatan beberapa negara untuk membedakan dengan currency atau alat bayar," terangnya.

Wisnu mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang membahas dan mengkaji apakah akan membuat bursa baru atau mengoptimalkan bursa yang sudah ada.

"Nanti kita akan bahas dan putuskan pada saat yang tepat," ungkapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas