OJK: Dalam Kondisi Pandemi dan Krisis Perbankan Indonesia Tetap Siap Dukung Pemulihan Ekonomi
Di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk, kinerja perbankan nasional saat ini masih dalam kondisi stabil.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dampak Covid-19 berimbas ke semua sektor ekonomi dan bisnis, termasuk sektor keuangan di Indonesia.
Pandemi membuat perekonomian RI mengalami kontraksi sebesar 2,07 persen di 2020 lalu. Sedangkan selama kuartal pertama 2021 pertumbuhan ekonomi malah minus 0,74 persen.
Heru Kristiyana Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyatakan, di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk, kinerja perbankan nasional saat ini masih dalam kondisi stabil.
“Perbankan kita selalu siap menghadapi berbagai krisis dan menyokong pertumbuhan ekonomi. Ini tak lepas dari peran OJK, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS,” kata Heru dalam diskusi yang diadakan Tempo belum lama ini.
Heru menambahkan, peran perbankan di tengah pandemi luar biasa.
Baca juga: Bank Aladin Ramaikan Bisnis Perbankan Syariah, Terapkan Strategi Omnichannel
Didorong oleh POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional serta POJK Nomor 48 /POJK.03/2020, hingga kini perbankan menggelontorkan restrukturisasi kredit atau pembiayaan hampir mencapai seribu triliun rupiah.
Baca juga: OJK Surati Anies, Minta Dukungan untuk Kegiatan Sektor Keuangan di Jakarta Selama PPKM Darurat
Terkait Kredit Usaha Rakyat (KUR), dari target KUR pemerintah Rp 190 triliun di 2020, perbankan berhasil menyalurkan sekitar Rp 197,04 triliun.
Pada 2021 Pemerintah menargetkan penyaluran KUR Rp 253 triliun, hingga April telah terealisasi Rp 88,09 triliun.
Baca juga: Bank Indonesia Dorong Para Perbankan Turunkan Suku Bunga Kredit Baru
OJK juga mencatat permintaan kredit perbankan hingga periode Mei 2021 masih terkontraksi sebesar 1,28 persen year on year (yoy).
Meski masih terkontraksi, jika dilihat dari data sejak awal tahun 2021 relatif menuju tren perbaikan.
Pertumbuhan ini tentu tak lepas dari digitalisasi perbankan dan perubahan perilaku nasabah yang memanfaatkan layanan digital untuk melakukan transaksi keuangan agar tak tertular virus Covid-19.
Namun, digitalisasi bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi mempercepat proses transaksi, di sisi lain digitalisasi membuka 'pintu risiko' baru bagi bank dan nasabah, seperti fraud dan pencurian data pribadi.
“Kita sudah menyiapkan banyak POJK yang menjamin keamanan digital. Kita lihat bank juga sudah siap dan memperkuat sistem keamanannya, tapi kecepatan hacker tidak bisa diprediksi.
Tentu yang paling penting perbankan juga terus mengedukasi. Memperingatkan nasabah jangan menyerahkan password kepada orang lain dan berhati-hati dalam transaksi digital,” kata Heru.
Pakar ekonomi Aviliani mengatakan perkembangan bank digital tidak hanya melahirkan potensi, tetapi juga risiko kejahatan siber hingga fraud teknologi.
Dia menegaskan, pihak bank harus melakukan deteksi risiko teknologi misalnya dengan langkah memperkuat software dan hardware, apalagi hukum kejahatan siber di Indonesia masih lemah.
Namun, masyarakat juga harus diedukasi agar menaati aturan dalam transaksi digital untuk melindungi diri mereka sendiri.
Menanggapi maraknya kasus pembobolan dana nasabah, Yuddy Renaldi Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Tbk. (Bank BJB), mengimbau masyarakat untuk berhati-hati terhadap celah kejahatan siber dengan menjaga kerahasiaan password dan mewaspadai tindak kejahatan di sektor perbankan digital, seperti skimming ATM, phising, dan carding yang makin sering terjadi.
Untuk melindungi nasabah, pihaknya mengembangkan antifraud system untuk melindungi cabang BJB di 14 propinsi di Indonesia.
“Kita punya antifraud system yang dikontrol dari pusat. Namun, kalau skimming atau fraud terjadi kepada nasabah kita paralel investigasi, tapi kita tetap menjaga risiko operasional dan menjaga reputasi. Lalu kita juga lakukan proses penggantian dana nasabah,” kata Yuddy.
Meskipun demikian, dana nasabah yang hilang tak selalu diganti oleh bank.
Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Hery Gunardi menegaskan, pihaknya tentu memastikan kemananan sistem operasional dengan firewall system, fraud detection system, dan sebagainya.
Namun, kejahatan perbankan yang terusun rapi bisa saja memuat transaksi seolah-olah dilakukan oleh nasabah. Apabila hal ini terjadi, maka bank tidak mengganti kerugian nasabah.
“Upaya penguatan internal dan sosialisasi terus dilakukan, tapi nasabah kadang merasa pada password dan PIN bukan hal penting.
Kedua, masyarakat mudah terjerat pishing yang menggiring nasabah memberi data penting. Bank juga melihat melalui investigasi, apakah ini kelemahan dari sisi bank atau dari sisi nasabah,” ujar Hery.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.