Eks Napi Korupsi Jadi Komisaris BUMN, DPR: Harus Tanggungjawab Bisa Tingkatkan Kinerja atau Tidak
Martin menyoroti soal mantan terpidana korupsi Izedrik Emir Moeis menjadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Lebih lanjut Sahroni mengingatkan bahwa seharusnya seorang mantan koruptor tidak lagi diberikan kesempatan menjadi pejabat negara.
“Prinsip penegakkan hukum itu salah satunya adalah memberikan efek jera. Jika sudah jadi napi saja masih bisa dapat jabatan, di mana letak efek jeranya? Kasihan para penegak hukum kita seperti KPK, Kejaksaan, Kepolisian dll yang telah berusaha keras memberantas korupsi, namun efeknya tidak dirasakan,” pungkasnya.
Izedrik Emir Moeis merupakan napi koruptor yang menerima suap terkait proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung saat menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR.
Sebagaimana yang termuat dalam situs PT Pupuk Iskandar Muda, Emir Moeis diangkat sebagai komisaris.
Di situs resminya, Pupuk Iskandar Muda mengaku menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan usahanya.
PSI: Apakah di Negeri Ini Tidak Ada yang Berkualitas?
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mempertanyakan pengangkatan eks narapidana korupsi Izedrik Emir Moeis sebagai Komisaris BUMN PT Pupuk Iskandar Muda.
“Predikat mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas, kenapa justru diangkat menjadi Komisaris BUMN? Menurut kami, melihat rekam jejaknya, Emir Moeis tidak memenuhi syarat materiil menjadi calon Komisaris yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap BUMN,” kata Juru Bicara DPP PSI Ariyo Bimmo, dalam keterangan tertulis, Kamis (5/8/2021).
Baca juga: Temuan BPK: Pemprov DKI Habiskan Rp 5,8 Miliar untuk Beli Masker N95
Pada 2004, Emir Moeis yang kala itu merupakan anggota Komisi VIII DPR RI terjerat kasus suap terkait lelang proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung.
Dia terbukti menerima suap senilai USD 357 ribu dari Konsorsium Alstom Power Inc yang mendaftar jadi salah satu peserta lelang. Akibat perbuatannya, Emir Moeis divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara pada 2014.
Baca juga: Eks Terpidana Korupsi Jadi Komisaris, Erick Thohir Diminta Konsisten Jalankan Jargon BUMN Akhlak
PSI melihat pencalonan mantan koruptor sebagai komisaris BUMN merupakan salah satu praktik impunitas terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya. Efek jera yang selama ini didengungkan tidak akan pernah efektif selama mantan koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.
“Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor? Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini,” lanjut Bimmo.
Lebih jauh, Bimmo menambahkan dari sisi manajemen berbasis risiko, terdapat kerawanan tinggi jika mantan koruptor diberi jabatan penting dalam BUMN.
“Tidak ada jaminan seorang mantan koruptor tidak akan melakukan tindakan residif di kemudian hari. Memberi posisi strategis kepada mantan koruptor di BUMN sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi. Ini sangat merugikan reputasi BUMN kita,” tegas Bimmo.