Impor Bibit Ayam Perlu Dikendalikan dengan Mempertimbangkan Kebutuhan Riil Domestik
Sampai akhir Juli 2021, realiasi impor sumber bibit ayam mencapai 493.029 ekor
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kegiatam importasi sumber bibit ayam (grand parent stock/GPS) ras pedaging yang dilakukan perusahaan peternakan terintegasi perlu dikendalikan dengan memperthitungkan kebutuhan konsumsi di dalam negeri yang akurat.
Upaya ini perlu dilakukan sebagai solusi jangka panjang guna menjaga keseimbangan supply demand ayam ras di masyarakat.
“Sesuai rekomendasi teman teman perternak, Kemendag diminta melakukan perhitungan ulang terkait kebutuhan impor GPS untuk tahun mendatang," ungkap Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim dalam webinar Pataka di Jakarta yang diikuti Tribunnews, Selasa (17/8/2021).
Dengan demikian, tidak sekedar melakukan persetujuan importasi sebagaimana rekomendasi teknis Kementan.
Data menunjukkan, realisasi impor sumber bibit ayam di tahun 2018 sebesar 699.561 ekor. Kemudian di tahun 2019 sedikit menurun yakni 683.84 ekor.
Namun di tahun 2020 ,volume meningkat hingga 721.017 ekor. Sampai akhir Juli 2021, realiasi impor sumber bibit ayam mencapai 493.029 ekor.
Baca juga: BI Prediksi Inflasi Agustus 2021 Sebesar 0,04 Persen, Komoditas Telur Ayam Ras Jadi Penyumbang Utama
Atas keperluan itu, Isy Karim menyatakan, kementeriannya juga meminta kepada para peternak mandiri manyampaikan kebutuhan ayam umur sehari atau daily old chicken (DOC) dalam sehari.
Isy mengatakan, saat ini dibutuhkan kebijakan yang lebih mendasar guna mengenalikan produksi ayam ras di Tanah Air.
Baca juga: Kementan-PT Agro Nusantara Jaya Siapkan KUR bagi Petani dan Peternak di Bali, Total Rp 3 Triliun
Kebijakan pemangkasan telur tetas/cutting hatting egg (HE) usia 19 hari dan afkir dini bibit ayam/Parent Stock (PS) sedianya membantu menjaga stabilitas harga karkas ayam di pasaran.
Namun Ismy menilai importasi tanpa melihat lebih jauh daya beli masyarakat maka membuat over suplai daging ayam di pasar.
Baca juga: Ibas Sampaikan Keprihatinan Atas Kesulitan yang Dialami Para Peternak
Apalagi akibat dampak Pandemi Covid 19 membuat usaha hotel , restoran dan kafe (horeka) menutup operasinya.
Kondisi ini menambah merosotnya daya beli masyarakat untuk mengkonsumi daging ayam ras. Hal itu tercermin dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 merosot sebesar 36 persen.
Menurutnya, kebijakan stabilisasi yang dirilis Kementan justru memacu terhadap harga DOC di atas 6.000 per ekor.
Sementara, harga live bird di tingkat peternak terus melemah dikisaran Rp 9.000 per ekor akibat perpanjangan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang mendorong terjadinya over supply daging ayam.
”Pantauan kami di pasar becek tidak mengalami penurunan signifikan. Harga karkas kami pantau Rp 32.660 per kilogram. Apakah ini akibat panjangnya mata rantai perunggasan,ini yang kita akan dalami,” ujarnya.
Kemendag juga terus berupaya menciptakan iklim usaha perunggasan nasional yang kondusif.
Pihaknya telah menyurati perusahaan pembibitan agar menjual DOC sebesar Rp 5.000-Rp 6.000 per ekor sesuai Permendag No 7 tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan di Tingkat Konsumen.
Sementara untuk agen dan para pengumpul juga dihimbau membeli harga live bird sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per ekor.
Jika merujuk Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) tentang cutting HE dan afkir dini ayam PS telah terbit enam kali sejak awal tahun 2021.
Hal ini telah dilakukan oleh 39 perusahaan pembibitan unggas ras broiler dengan total realisasi sebanyak 298.083.000 butir.
Sedangkan pelaksanaan afkir dini ayam telah dilakukan oleh 31 perusahaan pembibitan unggas ras, dengan total ayam yang diafkir sebanyak 8.740.000 ekor yang terdiri dari betina 8.056.000 ekor dan jantan 684.000 ekor.
Terkait hal ini, Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Muladno melihat justru apabila cutting HE dan afikir dini tidak dilakukan maka akan potensi over supply pasokan ayam di Tanah Air.
Kondisi ini tentunya justru akan membuat perdagangan perunggasan terganggu “Saya harus percaya data itu,”ujar Muladno.
Muladno menilai kondisi over suplai harus dikurangi demi menjaga keseimbangan pasar. Namun selama masih terdapat pihak yang kontra dan mendukung akan makin sulit untuk menstabilkan industri unggas dalam negeri.
Ketua Pusat PATAKA Ali Usman menilai pentingnya pemerintah kalkulasi GPS dengan baik dan benar supaya tidak terjadi overstock di berbagai tingkatan perusahaan.
Selain itu, hak dan kewajiban peternak skala Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) juga diberikan kuota GPS supaya tidak tergantung kepada integrator.
Dalam pengendalian oversupply, pemerintah perlu melibatkan seluruh stakeholder perunggasan nasional baik pelaku industri, peternak dan akademisi untuk menghitung kuota impor GPS sesuai kebutuhan.
“Dengan pendekatan angka konsumsi ayam di masyarakat, sehingga dapat diketahui berapa sebenarnya kebutuhan ayam GPS yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk diberikan kepada masing-masing perusahaan sesuai kebutuhan atau market masing-masing-masing,” ujarnya.
Ali Usman menambahkan, peternak rakyat saat ini berjuang mempertahankan bisnisnya dari ambang kehancuran karena usaha ayam broiler (ayam pedaging) terus tertekan dengan harga ayam panen (livebird) di bawah Harga Pokok Produksi (HPP).
Pada pertengahan Juli 2021, harga livebird di level Rp 8.000 per kilogram.
Sedangkan HPP Rp 19.000 – 21.000 per kg sesuai Permendag No. 7 Tahun 2020. Indikasinya karena pasokan ayam di hulu berlebih. Sedangkan permintaan di hilir masih stagnan.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian sudah melakukan intervensi pemangkasan produksi.
Pengendalian oversupply/overstock ini melalui Cutting Hatching Egg (HE) umur 19 hari dan afkir dini ayam Parent Stock (PS) dengan jumlah besar setiap dua minggu sekali dalam program berjalan setiap bulannya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.