Produsen Beton Ringan Minta Pemerintah Perhatikan Prakondisi Sebelum Penerapan Zero ODOL 2023
Produsen Beton Ringan Indonesia (Proberindo) mendukung rencana pemerintah untuk menerapkan Zero ODOL
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produsen Beton Ringan Indonesia (Proberindo) mendukung rencana pemerintah untuk menerapkan Zero ODOL (Over Dimension Over Load).
Namun, sebelum kebijakan itu diterapkan, Proberindo meminta pemerintah juga memperhatikan beberapa prakondisi agar tidak terjadi inefisiensi nasional saat kebijakan itu diterapkan nanti.
Ketua Perkumpulan Produsen Beton Ringan Indonesia (Proberindo), Franky Nelwan menyebut ada tiga prakondisi yang harus diperhatikan pemerintah sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL agar tidak memunculkan inefisiensi nasional.
Baca juga: Apindo Minta Pemberlakukan Zero ODOL Diundur hingga Situasi Kondusif
Pertama, dilakukan pembenahan terlebih dulu terhadap jumlah berat yang diizinkan (JBI) dari setiap truk. Artinya, daya dukung jalan harus dibuat sebesar kapasitas angkut truknya.
“Kalau truknya memang dirancang untuk bisa membawa 24 ton, ya pasangkan untuk 24 ton batasnya.
Tapi dia dilarang di jalan-jalan yang tidak sanggup mendukungnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (18/8/2021).
Baca juga: Zero ODOL Diberlakukan Mulai 2023, Ini Dampaknya Buat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Kedua, kelas jalan harus dinaikkan supaya truk yang memiliki kapasitas tinggi bisa kemana-mana.
Minimal dimana ada wilayah lokasi industri, pusat distribusi, dan pelabuhan atau tempat pindah moda.
Misalnya di Cikarang, Purwakarta, Bekasi, Tangerang, Cilegon, dan Serang, kemudian ke sentra-sentra distribusi seperti pasar induk, stasiun, dan pelabuhan.
“Jadi jalan-jalan di wilayah itu harus punya daya dukung yang tinggi atau daya dukung kelas 1 supaya bisa mendukung kapasitas JBI. Jalannya juga harus dibuat sanggup untuk mendukung kapasitas sesuai desain truknya. Bila perlu dibuatkan kelas khusus seperti jalan tol misalnya,” ujarnya.
Ketiga, supaya investasinya tidak terlalu mahal karena harus menambah truk dalam jumlah yang banyak, industri harus diizinkan untuk menambah jumlah axle atau as roda untuk menambah kapasitas angkutnya.
Baca juga: Truk ODOL Bikin Rusak Jalan Celaka Orang, Begini Sikap Isuzu
“Jadi, tiga prakondisi ini harus dilakukan sehingga industri tidak terlalu dibebankan dengan penambahan investasi yang terlalu besar yang akan berakibat kepada kenaikan harga di masyarakat,” ucapnya.
Kata Franky, jangan sampai negara akhirnya menjadi rugi hanya karena terlalu terburu-buru melaksanakan kebijakan Zero ODOL, tapi tanpa sengaja malah akan membuat inefisiensi nasional dengan mengosongkan kapasitas truk.
“Truk-truk yang sudah ada sekarang disuruh dikosongi untuk mendapatkan truk baru. Yang bertumbuh nantinya malah cuma pabrik truk lah yang kontribusinya terhadap perekonomian kita bisa dikatakan sangat kecil dibanding industri-industri strategis nasional lainnya seperti beton ringan, kaca, semen, industri makanan dan minuman, kelapa sawit yang justru akan terpukul akibat kebijakan Zero ODOL yang terkesan terburu-buru ini.
Apalagi komponen truk itu kan impor semua. Jadi, kebijakan Zero ODOL itu malah jadi mendukung impor kan,” katanya.
"Bagi kami, truk yang sampai meleot di jalan itu silakan saja memang harus ditegakkan, tetapi kami memiliki aturan batas muatan yang diizinkan berdasarkan kelas jalan tertentu yang saat ini sangat rendah, sehingga yang bisa muat 8 ton jadi hanya 6 ton ini kan tidak ODOL," tukasnya.
Franky mengutarakan bahwa selama ini, baik produsen beton ringan dan asosiasi lain selalu menggunakan truk yang sesuai batas kemampuan angkutnya.
“Jadi, truk-truk kami dijamin muatannya itu tidak menyebabkan dia lambat di jalan, sehingga menyebabkan macet. Truk kami juga dijamin pada berat sumbu yang memadai untuk jalan kelas satu paling tidak,” tuturnya.
Yang menjadi kekhawatiran Proberindo adalah penegakan Zero ODOL dengan menggunakan jembatan timbang itu akan membatasi truk-truk untuk bisa membawa muatan sesuai kapasitasnya.
Misalnya, truk yang sebetulnya didesain bisa muat 12 ton atau 15 ton, tapi karena kapasitas jalan yang ditentukan Kemenhub itu levelnya masih di bawah kapasitas desain truknya, itu menyebabkan truk harus mengurangi jumlah muatannya.
“Jadi, kalau penegakan Zero ODOL berdasarkan pembatasan JBI yang masih mengacu kepada kelas jalan serendah itu, kekawatiran kita adalah terjadinya inefisiensi nasional.
Kenapa? Karena, truk-truk itu sebenarnya punya kapasitas angkut lebih, tapi situasi jalan-jalan kita yang masih banyak yang tidak sanggup untuk mendukungnya menyebabkan turk-truk itu harus mengurangi muatannya,” tandasnya.
Dia mengungkapkan jika Zero ODOL diterapkan berdasarkan pertimbangan JBI, produsen beton ringan harus menginvestasikan dana sebesar 65 persen dari jumlah truk yang ada sekarang untuk bisa mengangkut dengan kapasitas yang sama.
“Jadi kalau sekarang kami mengirim barang dengan menggunakan 100 truk per hari untuk satu pabrik, kalau ditegakkan begitu, kami harus menambah kira-kira 65 truk lagi, Bayangkan kalau kita mau mengirim 2000 truk per hari, kan kita mesti tambah 1.300 truk .
Mau cari dimana 1.300 supir. Padahal kapasitas truk itu sekarang sudah sanggup mengangkut tanpa masalah,” tukasnya.
Dengan adanya penambahan banyak truk itu, menurut Franky, tidak bisa dihindari akan membuat jalan semakin padat. “Terus parkirnya dimana mereka nanti, karena truk itu bukan cuma nambah jumlahnya, tapi pasti butuh tambahan tempat parkir. Itu juga kan harus dipikirkan pemerintah,” tegasnya.
Jika terjadi inefisiensi nasional, Franky mengatakan itu akan membuat daya saing industri nasional menjadi menurun.
Dia mengatakan kapasitas produksi beton ringan saat ini turun sebesar 30 persen karena dampak pandemi Covid-19.
“Kenapa? Karena biaya logistik Indonesia yang saat ini sudah paling tinggi, mencapai 24 persen, kalau dibebankan lagi dengan cara menegakkan yang belum memakai prakondisi maka pasti akan ada kenaikan harga. Itu sama saja dengan semakin menaikkan biaya logistik kita,” katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.