Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Sri Mulyani Soroti Celengan Daerah Naik Sedangkan Belanja untuk Perlindungan Sosial Seret

Padahal dana ini menjadi jaring pengaman sosial masyarakat di daerah dalam menghadapi pandemi.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Sri Mulyani Soroti Celengan Daerah Naik Sedangkan Belanja untuk Perlindungan Sosial Seret
ist
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kembali menyoroti kinerja belanja pemerintah daerah yang masih belum sesuai harapan, khususnya terkait belanja perlindungan sosial.

Ia menyayangkan terjadinya penurunan belanja pemerintah daerah (pemda), khususnya untuk perlindungan sosial (perlinsos) dan sektor kesehatan seperti pencairan insentif nakes.

Padahal dana ini menjadi jaring pengaman sosial masyarakat di daerah dalam menghadapi pandemi.

Sri Mulyani mengatakan seharusnya Pemda getol menggelontorkan APBD saat masyarakat membutuhkan bantuan demi meringankan beban mereka dari dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.

"Belanja perlindungan sosial daerah justru mengalami penurunan. Ini disayangkan karena daerah sebenarnya memiliki peranan penting karena belanja pusat naik untuk bansosnya, terutama saat varian delta, tapi belanja daerah justru tidak mengalami percepatan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers daring APBN KiTa, Kamis (23/9/2021).

Baca juga: Ketika Menkeu Sri Mulyani Singgung soal Lambatnya Penyaluran Bansos di Daerah

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, belanja perlindungan sosial pada APBD se-Indonesia per Agustus 2021 mencapai Rp5,86 triliun atau hanya 0,5 persen dari total APBD yang mencapai Rp 537,93 triliun.

Belanja sektor ini mengalami penurunan 27,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 8,07 triliun.

Berita Rekomendasi

Berbanding terbalik, belanja perlindungan sosial dari pemerintah pusat justru tumbuh 5,4 persen dengan realisasi senilai Rp268,5 triliun.

"Belanja pusat naik untuk bansosnya, terutama pada saat menghadapi varian delta. Namun, belanja di daerah justru tidak mengalami percepatan," kata dia.

Sri Mulyani mengaku sudah menyampaikan perihal rendahnya belanja perlindungan sosial ini kepada para kepala daerah setiap rapat koordinasi.

Menurutnya, meskipun dana yang dimiliki daerah tidak sebesar pemerintah pusat, namun tetap perlu didorong percepatannya untuk masyarakat terutama selama pandemi.

"Meski dana untuk daerah tidak sebesar pemerintah pusat, mereka memiliki anggaran dan seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat di situasi yang luar biasa berat seperti saat ini," katanya.

Baca juga: DPR Setujui Permintaan Sri Mulyani Tambah Anggaran Rp 992 Miliar 

Di sisi lain kata Sri Mulyani, per akhir Agustus 2021 masih ada provinsi yang nilai simpanannya lebih besar dibandingkan biaya operasional daerah selama 3 bulan ke depan.

Artinya, transfer yang didapat dari pemerintah pusat tidak langsung dibelanjakan alias mengendap di rekening bank daerah.

Tak heran per periode sama Kemenkeu mencatat simpanan daerah lagi-lagi naik Rp5,22 triliun atau 3,01 persen dari posisi bulan sebelumnya menjadi Rp178,95 triliun.

Sri Mulyani mengungkapkan daerah dengan selisih simpanan dan biaya operasional tertinggi adalah Jawa Timur dengan nilai Rp9,9 triliun, Aceh Rp4,3 triliun, Jawa Tengah Rp4,2 triliun. Sedangkan terendah adalah DKI Jakarta Rp2,5 triliun, Lampung Rp1,1 triliun, dan Nusa Tenggara Barat Rp900 miliar.

Tak jauh berbeda, realisasi pendapatan berbanding realisasi belanja per Agustus juga jauh dari memuaskan. Realisasi pendapatan APBD per Agustus 2021 sudah mencapai 53,7 persen dari pagu.

Realisasi pendapatan di daerah mayoritas disokong transfer dari pemerintah pusat. Namun pada saat yang sama banyak daerah yang merealisasikan belanja lebih rendah dari pendapatannya. Realisasi belanja APBD baru 44,2 persen dari pagu atau mencapai Rp537,93 triliun. Jumlah itu naik 2 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Banten menjadi salah satu provinsi yang paling sedikit membelanjakan anggarannya, padahal transfer dananya paling besar. Selisih antara realisasi pendapatan dan realisasi belanja di Banten mencapai 17,9 persen.

Sementara Jawa Tengah kebalikannya, menjadi wilayah yang paling tinggi belanja APBD. Selisih antara realisasi pendapatan dan realisasi belanjanya bahkan hingga minus 0,63 persen. "Jadi bayangkan saat transfer sudah dimintakan tata kelola dengan persyaratan salur mereka (pemda) pun tidak langsung membelanjakan," ujarnya.

Selain itu, belanja kesehatan dari APBD juga mengalami penurunan 1,4 persen dari Rp 83,88 triliun pada Agustus tahun lalu menjadi Rp 82,71 triliun pada Agustus 2021. Namun, penurunan ini disebabkan belanja kesehatan yang banyak dilakukan pemerintah pusat.

"Sekarang kita juga akan melakukan intersep seperti yang kita sampaikan sehingga kecepatan vaksinasi dan penanganan covid melalui PPKM tidak terkendala. Namun kita mendorong insentif nakes bisa dibayarkan secara tepat waktu," kata dia.(tribun network/yov/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas