Aturan Baru dalam RUU HPP yang Resmi Disahkan Hari Ini, NIK jadi NPWP hingga Kenaikan PPN
Dewan Perwakilan Rakyat resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-undang, Kamis (7/10/2021).
Penulis: Daryono
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-undang, Kamis (7/10/2021).
Pengesahan RUU HPP itu dilakukan melalui Sidang Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar.
Dikutip dari Kompas.com, UU HPP ini terdiri dari sembilan bab dan 19 pasal.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie OFP, mengatakan pembahasan RUU tentang HPP didasarkan pada surat Presiden serta surat keputusan Pimpinan DPR RI tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan pembahasan RUU KUP dilakukan oleh Komisi XI bersama pemerintah.
"Dalam Raker Komisi XI, terdapat delapan fraksi menerima hasil kerja Panja dan menyetujui agar RUU HPP segera disampaikan kepada Pimpinan DPR RI. Sedangkan satu fraksi menolak RUU," sebut Dolfie.
Baca juga: Rapat Paripurna DPR Sahkan RUU HPP Jadi Undang-Undang
Delapan fraksi yang menyetujui RUU HPP yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP.
Sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS.
RUU HPP yang disahkan hari ini memuat sejumlah aturan baru terkait perpajakan.
Berikut aturan baru dalam RUU HPP yang disahkan hari ini:
Dikutip dari laman resmi Kemenkeu, melalui UU HPP, Nomor Induk Kependudukan (NIK) resmi bakal difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Penggunaan NIK sebagai NPWP akan memudahkan Wajib Pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Meski demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP tidak beratu semua WNI wajib membayar Pajak Penghadilan (Pph), tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak.
Yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun.
Baca juga: Legislator PKS Minta Pembahasan Tax Amnesty Jilid II dalam RUU HPP yang Bakal Disahkan, Tak Dikebut
2. Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen
Dalam RUU HPP juga ditetapkan tarif tunggal untuk PPN.
Tarif PPN disepakati untuk dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%, dan juga lebih rendah dari Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%), dan India (18%).
RUU HPP juga mengatur perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN.
Kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya akan diberikan fasilitas dibebaskan PPN.
3. Perubahan PPh OP dan PPh Badan
Dengan pengesahan ini, lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen dinaikkan menjadi Rp60 juta dari sebelumnya Rp50 juta, sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap.
Kenaikan batas lapisan (layer) tarif terendah ini memberikan manfaat kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.
Di sisi lain, pemerintah mengubah tarif dan menambah lapisan (layer) PPh orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
Perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan, dan bagi orang pribadi yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar.
RUU HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi.
Tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN (22,17%), negara-negara OECD (22,81%), negara-negara Amerika (27,16%), dan negara-negara G-20 (24,17%).
4. Tax Amensty
Dikutip dari Kompas.com, RUU HPP juga mengatur soal program pengampunan pajak (tax amnesty).
Program ini bakal ada lagi mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
Ketentuan pengampunan pajak tertuang pada pasal 6 ayat (1) rancangan Undang Undang (RUU) final tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Baca juga: RUU HPP Segera Disahkan, NIK akan Difungsikan Jadi NPWP
5. Pajak Karbon
RUU HPP juga mengatur tarif pajak baru untuk karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida (CO2e).
Semula, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengusulkan tarif pajak karbon Rp 75 per kilogram CO2e.
RUU menyebutkan, pajak karbon yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pengenaan pajaknya memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon.
Peta jalan pajak karbon sendiri terdiri dari strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru, dan keselarasan antar berbagai kebijakan lain.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktifitas yang menghasilkan emisi karbon.
Ketentuan mengenai tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, mekanisme pengenaan pajak karbon, dan tata cara pengurangan pajak diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Sementara itu, ketentuan mengenai pajak karbon dan alokasi penerimaan pajak dari karbon untuk pengendalian perubahan yang diatur berdasarkan PP.
(Tribunnews.com/Daryono) (Kompas.com/Fika Nurul Ulya)