Tanpa Domestic Market Obligation Batubara, Industri Semen hingga Tekstil Terancam Kolaps
Pelaku industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi harga batu bara yang kini melonjak tajam.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Kebijakan tersebut, setidaknya berlaku selama harga batu bara yang saat ini sedang melambung tinggi. Komaidi menegaskan, jika harga produknya naik, sudah pasti akan menurunkan daya saing industri.
Kalau daya saing turun, pendapatannya pasti juga turun. Kalau turun impact-nya nanti ke pemerintah juga. Pendapatan pajak dan non pajaknya turun juga.
“Hal yang sangat dikhawatirkan, kalau harga produk naik dan daya saing lemah, akan membuat perusahaan mengurangi modal kerja. Itu tentu ada impact ke pengurangan tenaga kerja. Itu yang tidak kita harapkan," tandasnya.
Terkait capping harga, Komaidi mengatakan kalau pun tidak sama dengan PLN di level US$70 per metric ton, bisa lebih tinggi misalnya US$80 per ton.
"Poinnya adalah industri non kelistrikan umum perlu diberi harga DMO. Apakah sama dengan PLN atau tidak, tergantung pertimbangan pemerintah di dalam memberikan fasilitas tersebut,” ujarnya.
Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna.
“Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.
Sebagai salah satu industri yang cukup besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya.
Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30-35 persen. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25-30% karena harga batu bara yang melambung.
Ini diperparah dengan terkendalanya pasokan batu bara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen.
“Bayangkan saja, stok balu bara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada jalannya produksi dan volume produksi semen terganggu,” ujarnya.
Di sisi lain, Widodo mengingatkan pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional.
“Ini perlu pertimbangan pemerintah, karena bila harga semen naik, dampaknya akan ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industry dalam negeriserta proyek-proyek strategis nasional,” pungkasnya.
Sementara itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi. Yang cukup mencengangkan seperti dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.