Simulasi Kereta Cepat Ala Faisal Basri: Tarif Rp 250 Ribu, Butuh 139 Tahun Baru Kembali Modal
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) terus menuai kritik dari ekonom senior INDEF, Faisal Basri.
Editor: Hendra Gunawan
Dari Indonesia membentuk badan usaha PT Pilar Sinergi BUMN dan dari China membentuk China Railway. Lalu keduanya membentuk KCIC.
Update Pembangunan
Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan progres pembangunan KCJB kini sudah mencapai lebih dari 79 persen.
Sementara rangkaian kereta atau electric multiple unit (EMU) sudah memasuki tahap produksi di pabrik China Railway Rolling Stock Corporation (CRRC), Sifang, Qingdao.
"Rangkaian EMU ini dibuat dengan sistem manajemen mutu terstandardisasi internasional ISO 900," katanya dikutip Kompas.coma, Senin (01/11/2021).
Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung mendapatkan persetujuan dari pemerintah terkait PMN dan komitmen pendanaan dari China Development Bank (CBD).
"Masuknya investasi pemerintah melalui PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemimpin konsorsium (leading consortium) Kereta Cepat Jakarta-Bandung bisa mempercepat penyelesaian pengerjaan proyek setelah sempat tersendat akibat pandemi Covid-19," ujarnya.
Menurut Dwiyana, struktur pembiayaan KCJB yaitu 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh CDB dan 25 persen dibiayai dari ekuitas konsorsium.
Dari 25 persen ekuitas tersebut, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas.
Sehingga, pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa adanya jaminan dari Pemerintah Indonesia.
PMN yang akan dialokasikan pemerintah sebesar Rp 3,4 triliun, digunakan untuk pembayaran base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium.
Sedangkan pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun. KCJB masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun melalui kerja sama Indonesia dan China yang pengerjaannya menggunakan teknologi tinggi sehingga bisa menjadi suatu lompatan yang baik bagi Indonesia.
Terlebih, kedua negara juga telah melakukan transfer knowledge sehingga para pekerja di Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya. (Kontan/Bidara Pink/Kompas.com/Muhdany Yusuf Laksono/Muhammad Idris)