Penjelasan PIHC Terkait Naiknya Harga Pupuk Non Subsidi
Harga pupuk non subsidi dikabarkan naik 70 persen hingga 120 persen beberapa waktu lalu.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga pupuk non subsidi dikabarkan naik 70 persen hingga 120 persen beberapa waktu lalu. Terkait hal ini, Corporate Communication Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Wijaya Laksana menyatakan, kenaikan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.
Antara lain, kenaikan bahan baku hingga kondisi pandemi yang terjadi saat ini.
"Harga pupuk dan bahan baku pupuk di dunia memang mengalami kenaikan seiring dengan melonjaknya harga berbagai komoditas dunia, antara lain karena pengaruh pandemi, krisis energi di eropa serta adanya kebijakan beberapa negara yang menghentikan ekspornya dan lonjakan permintaan yang tinggi di pasar dunia," ungkap Wijaya kepada media di Jakarta, Jumat (5/11/2021).
Wijaya menegaskan, pihaknya berkomitmen menjaga pasokan dalam negeri, baik pupuk subsidi maupun non subsidi.
"Kami memprioritaskan kebutuhan dalam negeri dengan tidak melakukan ekspor, menyiapkan stok dua kali lipat kebutuhan," katanya.
Terkait harga pupuk non subsidi, pihaknya pun berkomitmen untuk menjaga harga pupuk non subsidi tetap stabil agar tetap bisa dijangkau oleh para konsumen.
Baca juga: Pupuk Kaltim Pamer Produk Unggulan Ber-SNI di Indonesia Quality Expo ke-9
"Mempertahankan harga pupuk non subsidi di bawah harga internasional demi menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen domestik," tandasnya.
Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian RI Gunawan, sebelumnya mengatakan, pemerintah tetap berkomitmen menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi maupun non subsidi untuk meningkatkan produktivitas lahan petani.
Baca juga: Produksi Pupuk Bakal Berkesinambungan Setelah Harga Batubara Dipatok 90 Dolar AS Per Ton
Itu dilakukan karena pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang sangat strategis bagi pertanian. Selain mempengaruhi capaian produksi, tambahnya, pupuk juga memiliki dampak sosial sangat luas karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6063 Kecamatan, 489 Kabupaten dan 34 Provinsi.