Anggota Komisi XI Sebut Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tidak Layak Pakai APBN, Ini Alasannya
Anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan mengatakan penggunaan APBN untuk mengatasi pembengkakan biaya proyek KCJB kurang tepat.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Vincentius Jtyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR-RI memaparkan akan memberi PMN kepada proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebesar Rp4,3 triliun. Dana tersebut akan diambil dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN 2021.
PMN tersebut sebagai upaya penyelamatan terhadap proyek KCJB yang mengalami pembengkakan biaya. Pada awalnya proyek tersebut diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun.
Kini biaya proyek menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan mengatakan penggunaan APBN untuk mengatasi pembengkakan biaya proyek KCJB kurang tepat.
Hergun, sapaan akrabnya, menyatakan proyek KCJB dari segi investasi bukan merupakan investasi yang memberikan keuntungan secara cepat. Menurut peneliti proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung baru bisa balik modal setidaknya dalam 139 tahun.
"PMN itu artinya negara menginvestasikan sejumlah uang dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Namun bila balik modalnya membutuhkan waktu yang lama maka disebut tidak layak investasi," ujar Hergun, kepada wartawan, Senin (15/11/2021).
Faktor lainnya, Kapoksi Gerindra di Komisi XI DPR RI itu menyebut KCJB kurang ekonomis karena stasiun terakhir terletak di pinggiran Kota Bandung yakni stasiun Tegalluar. Sehingga penumpang masih harus berganti moda transportasi untuk menuju ke tengah kota.
Baca juga: Kereta Cepat Jakarta Bandung Disebut Proyek Nanggung, KCIC dan Gubernur Jabar pun Buka Suara
Lalu, harga tiket diperkirakan antara Rp250.000 hingga Rp350.000 akan menyulitkan KCJB bersaing dengan moda transportasi lainya seperti armada travel, bus, dan kendaraan pribadi.
Kemudian, rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur sedikit banyak akan mengurangi mobilitas warga Bandung ke Jakarta.
Baca juga: Kasus Pencurian 111 Ton Besi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Polisi Bakal Periksa PT Wika
"Itulah beberapa kondisi yang menyebabkan KCJB tidak layak didanai oleh APBN," papar Hergun.
Perlu diketahui, proyek tersebut awalnya ditetapkan B to B dan tidak menggunakan APBN sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebelum proyek tersebut dilaksanakan.
“Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis,” kata Presiden Joko Widodo, pada 3 September 2015.
Lalu pada 6 Oktober 2015, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Adapun untuk menggarap proyek ini, telah didirikan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada Oktober 2015.
KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan 60% dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd. dengan kepemilikan 40%.
Pada Pasal 4 ayat (2) Perpres 107/2015 menyatakan pelaksanaan proyek KCJB tidak menggunakan dana dari APBN serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.
“Mestinya Pemerintah konsisten dengan kebijakan tersebut. Proyek tersebut sudah melalui studi yang cukup lama dan komprehensif."
"JICA sudah menghabiskan dana 3,5 juta dollar untuk melakukan studi kelayakan. Belum lagi studi kelayakan yang dilakukan pihak China. Sehingga aneh bila tiba-tiba terjadi pembengkakan biaya yang cukup besar,” ujar Hergun.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan KCIC Mirza Soraya menjelaskan pembengkakan tersebut dikarenakan pengadaan lahan, penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api, biaya investasi untuk instalasi PLN serta pekerjaan variation order dan financing cost.
Lebih lanjut, Hergun menegaskan KCJB bukan merupakan proyek kelas warung kelontong yang bisa diubah semaunya. Proyek ini merupakan proyek prestisius bahkan yang pertama di Asia Tenggara.
Pelaksana proyek harus mengerjakannya secara profesional sesuai rencana awal yang ditetapkan.
Pemerintah tampaknya mendapatkan masukan yang tidak tepat sehingga mengubah kebijakan tersebut. Perpres 107 Tahun 2015 diganti dengan Perpres 93 Tahun 2021.
Ada sejumlah perubahan menonjol dalam beleid yang diteken Presiden Joko Widodo pada 6 Oktober 2021 ini.
Pertama, dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015, WIKA ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium BUMN. Sedangkan di dalam beleid yang baru, posisi WIKA digantikan oleh PT KAI.
Kedua, dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015, Menko Perekonomian ditugaskan mengoordinasikan percepatan pelaksanaan proyek. Sedangkan di dalam beleid yang baru, dibentuk Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Ketiga, dari sisi pendanaan, Perpres Nomor 107 Tahun 2015 menegaskan tidak memakai dana APBN dan penjaminan dari pemerintah. Sedangkan pada beleid baru, ditegaskan bisa menggunakan dana APBN dan mendapatkan penjaminan dari pemerintah.
Sebelum memberi persetujuan PMN mestinya dilakukan kajian terlebih dahulu perihal kelayakan proyek tersebut.
Pasal 16 Perpres 107/2015 menegaskan bahwa konsorsium BUMN tersebut harus memberi laporan kepada Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama pembangunan prasarana.
"Apakah ketentuan tersebut sudah dilaksanakan? Bagaimana isi laporannya? Ini yang mesti dikaji terlebih dahulu,” ujar Hergun.
Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) menegaskan bahwa saat ini negara dalam kondisi sulit akibat dari Pandemi Covid-19.
Bahwa untuk mengatasi Pandemi Covid-19, telah dilakukan pelebaran defisit APBN melebihi 3% selama 3 tahun. Kebijakan ini pun berdampak melonjaknya rasio utang yang tadinya hanya 30,23% PDB pada 2019 menjadi 41,38% per September 2021.
“Saya kira melonjaknya utang harus dipergunakan secara tepat untuk mengatasi Covid-19, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mendukung UMKM serta dunia usaha. Tidak tepat bila hasil utang atas nama Covid-19 tapi digunakan untuk membiayai proyek prestisius,” ucapnya.
Karena itu, lanjut Hergun, penggunaan SAL untuk membiayai proyek KCJB perlu dikaji ulang.
Pasal 28 UU Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN TA 2021 membolehkan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dengan catatan bila terjadi realisasi penerimaan tidak sesuai dengan target, adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN TA 2021.
“Proyek KJCB sejak awal ditetapkan sebagai proyek B to B sehingga tidak dimasukkan dalam rencana pengeluaran APBN 2015 - 2021. Namun tiba-tiba terbit Perpes 93/2021 yang menyatakan KJCB bisa didanai dengan APBN. Karena Perpres tersebut baru diterbitkan maka perlu dikaji lebih dahulu untuk bisa diakomodir dalam pengeluaran APBN 2021,” ujar Hergun.
“Saya kira proyek KCJB ini lebih baik dimoratorium dahulu untuk dilakukan audit dan kajian yang lebih komprehensif mengenai layak tidaknya menggunakan APBN,” sambungnya.
Ada beberapa alasan untuk dilakukan moratorium.
Pertama, penggunaan dana APBN sebagaimana dinyatakan dalam Perpres 93/2021 perlu dikaji lebih komprehensif karena awalnya proyek ini tidak menggunakan APBN.
Kedua, pembengkakan biaya KCJB yang mencapai 8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 114,4 triliun juga perlu diaudit. Pembengkakan tersebut sudah melebihi hitungan pihak Jepang sebagai inisiator proyek KCJB yakni 6,2 miliar dollar AS.
Ketiga, perlu opsi pembiayaan selain suntikan APBN. Saat ini terjadi likuiditas yang melimpah, dibuktikan dengan penjualan SBN yang melebihi target dan dana masyarakat (DPK) di perbankan juga melonjak secara signifikan.
KCIC bisa memanfaatkan melimpahnya likuiditas tersebut dengan menawarkan obligasi yang kompetitif.
Keempat, saat ini mobilitas masyarakat belum pulih akibat adanya pandemic Covid-19 sehingga tidak perlu buru-buru menyelesaikan pembangunannya.
Perlu diketahui, banyak proyek infrastruktur yang tidak maksimal penggunannya, di antaranya Bandara Internasional Kertajati, Bandara JB Soedirman Purbalingga, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, dan LRT Palembang.
Percepatan proyek KCJB jangan sampai hanya akan menambah daftar proyek-proyek yang tidak maksimal pemanfaatannya.
"Lebih baik tunggu ekonomi benar-benar membaik sehingga masyarakat pulih daya belinya dan mampu membeli tiket KCJB. Dengan harga tiket diperkirakan sebesar Rp250.000 hingga Rp350.000, saat ini dirasa masih berat. Dikhawatirkan negara harus nombok lagi untuk menyubsidi operasional KCJB” pungkasnya.