Jokowi Pasang Badan Soal Gugatan UE Terkait Larangan Ekspor Nikel, Ini Jurus yang Bisa Dilakukan RI
Uni Eropa menggugat pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang melarang ekspor ke Benua Biru tersebut.
Editor: Hendra Gunawan
Nikel terutama, kita setop. Tahun depan kita bisa setop bauksit sehingga kita bisa membuka lapangan kerja. Tahun depannya lagi, setop tembaga," tegas Jokowi.
"Kenapa kita lakukan ini? Kita ingin nilai tambah, kita ingin menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Mau tidak mau mereka harus invest di Indonesia atau ber-partner dengan kita. Lewat swasta bisa, lewat BUMN silahkan," sambung Presiden.
Baca juga: STAL Siap Jadi Terobosan Teknologi Pengolahan Nikel yang Ramah Lingkungan
Sebagai tindak lanjut dari gugatan Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor produk bijih nikel mentah oleh Indonesia (DS 592), panel sengketa WTO melakukan sidang secara virtual di depan panel WTO, Jenewa, Swis, baru-baru ini.
Jurus yang Bisa Dipakai
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai, selain argumen kedaulatan ekonomi dan nilai tambah domestik, pemerintah RI perlu memperkuat pembelaan dengan beberapa argumen tambahan.
Mengutip risetnya, Selasa (2/11/2021), LPEM UI berpendapat, ada 3 argumen yang setidaknya dapat disiapkan pemerintah, salah satunya yakni masih cukup besarnya pasokan bijih nikel dari negara-negara di dunia, selain Indonesia.
Data Nickel Institute di 2021 menunjukkan ada 10 negara yang menguasai 77 persen sumber daya nikel di dunia. Indonesia sendiri porsinya memiliki sumber daya nikel mencapai 11 persen.
Baca juga: Punya Pasokan Nikel Terbesar Dunia, Arsjad Rasjid: Indonesia Bakal Kuasai Pasar Mobil Listrik
Tetapi negara lain juga cukup memiliki sumber daya nikel yang besar, seperti Australia mencapai 15 persen, Afrika Selatan 11 persen, Rusia 8 persen, Kanada 7 persen, Filipina 6 persen, Brazil 6 persen, Kuba 5 persen, Kaledonia Baru 5 persen, dan China 2 persen.
"Indonesia dapat menunjukkan bahwa larangan ekspor bijih nikelnya tidak sepenuhnya mengguncang pasokan bijih nikel dunia, karena masih cukupnya pasokan dari negara-negara lain," tulis riset tersebut.
Argumen kedua yakni, menyatakan bahwa Indonesia tidak melarang ekspor nikel yang telah diolah dan dimurnikan, sehingga produsen barang berbasis nikel dunia tidak akan kehilangan bahan baku, melainkan hanya mengurangi satu rantai produksinya saja.
"Pabrik pengolahan nikel di Uni Eropa maupun di negara-negara industri lain tidak akan sepenuhnya terhenti akan tetapi hanya mengurangi satu tahapan produksinya saja," demikian tertulis dalam riset.
Serta terakhir, pemerintah dapat membawa argumen bahwa Indonesia perlu memastikan kecukupan pasokan bagi kebutuhan domestik, terutama bagi pelaku smelter yang telah berinvesasi di Indonesia.
Pada 2020 setidaknya ada 13 smelter di Indonesia dan di 2021 akan tambah 3 smelter lagi yang akan beroperasi.
"Indonesia dapat menunjukkan bahwa larangan ekspor bijih nikel juga diperlukan untuk menjamin kecukupan pasokan domestik," tulis riset tersebut