Kementan Waspadai Dampak La Nina Terhadap Sub Sektor Perkebunan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim hujan di Indonesia diperkirakan terjadi pada Januari
Penulis: Sanusi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Curah hujan dengan intensitas tinggi dan terus menerus di beberapa wilayah Indonesia serta kejadian bencana alam yang dipicu oleh La Nina akan sangat berdampak pada keberlangsungan pertanian termasuk perkebunan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim hujan di Indonesia diperkirakan terjadi pada Januari hingga Februari 2022.
Dalam menyikapi prediksi dari BMKG tersebut Kementerian Pertanian sigap, dan segera melakukan penanganan bagi komoditas pertanian termasuk sub sektor perkebunan agar memiliki mutu yang baik dalam menghadapi kondisi alam ini.
Baca juga: Realisasi KUR Pertanian di Lampung Tembus Rp4,078 T
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, meminta seluruh jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) agar meningkatkan kewaspadaan terhadap peningkatan curah hujan di akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022, dan segera melakukan peringatan atau upaya penanganan untuk seluruh komoditas pertanian, agar stok ketersediaan pangan termasuk komoditas perkebunan tetap aman, terjaga dan tersedia.
Sesuai arahan Mentan, Ditjen Perkebunan (Ditjenbun) terus berupaya melakukan langkah-langkah penanganan atau pencegahan pada sub sektor perkebunan dalam mengantipasi Fenomena La Nina.
Direktur Perlindungan Perkebunan Ardi Praptono, mengatakan secara umum komoditas perkebunan ditanam pada daerah-daerah lahan kering dan ditanam pada areal dataran tinggi, serta memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tanaman pangan maupun hortikultura, dimana kondisi tanaman perkebunan lebih kuat.
Baca juga: Tembakau yang Dipanen Petani Ponorogo Tak Bisa Dijual dan Dijadikan Pupuk Organik Tanaman Lain
"Sehingga apabila terjadi bencana alam akibat fenomena La Nina, seperti banjir, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang dan serangan OPT tidak berdampak secara signifikan terhadap tanaman perkebunan, namun akan berpengaruh terhadap produksi,” kata Direktur Perlindungan Perkebunan Ardi Praptono, pekan lalu.
Dampak negatif dari fenomena La Nina terhadap Subsektor Perkebunan di Indonesia, antara lain terjadinya eksplosi Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) khususnya berbagai penyakit akibat jamur, serangan hama tikus dan penurunan mutu hasil produksi perkebunan serta terjadi banjir pada lahan perkebunan terutama pada lahan gambut, karena lahan gambut merupakan lahan yang sensitif untuk ditanami komoditas perkebunan, apabila tidak dikelola dengan baik terutama pada musim kemarau berpotensi menyebabkan kebakaran lahan sedangkan pada musim penghujan akan menyebabkan banjir.
Baca juga: Nelayan Indonesia Perlu Kapal Penyuplai Bahan Bakar maupun Penampung di Tengah Laut
Tak hanya itu, komoditas perkebunan mayoritas ditanam pada dataran tinggi dengan tingkat topografi yang curam atau lereng gunung sehingga apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi dapat memicu tanah longsor yang berdampak pada lahan perkebunan.
Sedangkan dampak positifnya, apabila terjadi La Nina berlangsung bagi sektor perkebunan salah satunya yaitu sebagai cadangan air atau mengisi penampungan air (embung, parit, dan lain-lain) sehingga bisa mengoptimalkan irigasi. Selain itu, air hujan membuat ketersediaan air tanah cukup, sehingga penanaman tanaman perkebunan dapat dilaksanakan lebih awal.
Program Direktorat Jenderal Perkebunan dalam upaya penanganan dampak La Nina antara lain melalui Penerapan Hama Terpadu (PHT) komoditas perkebunan, Pembuatan Metabolis Sekunder Agens Pengendali Hayati (MS APH), Pengendalian secara terpadu melalui sistem aplikasi pada website Ditjenbun (SinTa, dan Avi My Darling), Sedangkan untuk mengetahui ketersediaan air tanah Ditjen Perkebunan berkerjasama dengan BMKG & Balitklimat – Litbang Kementan membangun Sistem Informasi Rencana Tanam dan Infrastruktur Air Perkebunan untuk Komoditas Utama (Sirami Kebunku).
“Untuk itu Kementan melalui Ditjenbun, melakukan strategi penanganan fenomena La Nina pada sub sektor pekebunan melalui kegiatan mitigasi dan adaptasi,” ujar Ardi.
Ardi menambahkan, kegiatan adaptasi difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif seperti penyesuaian pola tanam, teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air dan lain-lain, sedangkan Kegiatan Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, yang terdiri dari antisipasi (sebelum bencana), saat bencana (tanggap darurat), dan pasca bencana.
Adapun kegiatan Adaptasi dan mitigasi yang dilakukan Ditjen Perkebunan melalui kegiatan demplot kebun adaptasi & mitigasi DPI dalam bentuk pembangunan embung, lubang biopori, rorak dan ternak kambing dan Pembentukan desa organic berbasis komoditi perkebunan.