Pembangunan Ibu Kota Negara Dinilai Bikin Beban Defisit Fiskal Melonjak
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Hidayatullah mengkritisi langkah pemerintah yang mengkebut proyek ibu kota negara baru.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Hidayatullah mengkritisi langkah pemerintah yang mengkebut proyek ibu kota negara baru.
"Harus dicermati, apakah ibukota baru ini menguntungkan bagi rakyat atau justru menguras anggaran untuk kesejahteraan rakyat, kemudian secara fiskal memadai tidak," katanya kepada wartawan, Jumat (17/12/2021).
Menurut Hidayatullah, pembangunan ibu kota negara baru seharusnya bukan masuk prioritas tahun depan.
Alasannya anggaran negara fokus untuk mengatasi perkonomian pasca pandemi mulai dari kemiskinan, pengangguran, masalah sosial dan kesehatan.
"Kemakmuran rakyat adalah prioritas sesuai yang diamanatkan UUD'45 Pasal 23 Ayat 1 yakni APBN sebagai keuangan negara dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujarnya.
Baca juga: Pemerintah Segera Sebar Surat Utang Negara Rp 973,6 Triliun Pada 2022 Untuk Biayai Defisit Fiskal
Hidayatullah mengingatkan utang negara pasca pandemi kian melonjak, sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) sudah memberikan peringatan atas utang RI yang sudah melebihi batas yang direkomendasikan oleh International Debt Relief (IDR) dan IMF.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Defisit APBN Hingga September Masih Terjaga di Rp 452 Triliun
"Rasio debt service terhadap penermaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen, sementara Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6%-6,8 persen," katanya.
Baca juga: Defisit APBN Tembus Rp 383 Triliun Per Agustus 2021
Menurutnya, pemerintah semestinya bijak memfokuskan anggaran tahun depan dan tahun berikutnya untuk penanganan pandemi dan perkonomian yang terdampak.
"Tugas berat pemerintah ialah menurunkan kembali defisit APBN menjadi 3 persen pada 2023 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020, defisit tahun 2020 saja mencapai 6,09 persen kemungkinan tahun 2021 dikisaran 5 persen lebih, sehingga pemerintah harus berhemat dan fokus pada pemulihan ekonomi bukan mengesa proyek mercusuar yang berpotensi menambah utang baru" katanya.
Mengenai komitmen pemerintah untuk tidak mengandalkan APBN sebagai pembiayaan ibukota baru, Anggota DPR RI ini menyangsikan.
"Kereta Cepat Jakarta-Bandung saja yang diklaim akan mengunakan model pendanaan swasta, akhirnya uang APBN juga menambal dengan angka fantastis 150-an triliun rupiah, apalagi ini ibu kota negara," tandasnya.