Guru Besar IPB: Tak Ada Negara di Dunia yang Wajibkan Pelabelan BPA di Kemasan AMDK
Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) hingga kini masih terus mengkaji batas paparan aman asupan harian Bisfenol A (BPA) yang dapat ditoleransi tubuh
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Sulaeman mengatakan Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) hingga kini masih terus mengkaji batas paparan aman asupan harian Bisfenol A (BPA) yang dapat ditoleransi tubuh manusia (Tolerable Daily Intake/TDI).
Menurutnya, kajian itu memakan waktu yang sangat panjang dan dilakukan dengan sangat berhati-hati.
“Di EFSA saja (itu dilakukan) sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Mereka melakukannya sejak 2007, dan sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan masih terus mereview. Mereka masih mewacanakan untuk mengubah TDI di sana,” ujar Ahmad Sulaeman dalam keterangannya, Selasa (1/2/2022).
Dia mengatakan peraturan yang ada di Indonesa mengijinkan keberadaan BPA di dalam kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan dan menjadi cemaran pada pangan.
Menurutnya, batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dalam semua jenis kemasan pangan juga telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM No.20/2019.
Contohnya BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glokol, dietilen glikol pada PET.
Baca juga: Komnas PA Nilai Rencana Pelabelan BPA Pada Galon Isi Ulang Tepat untuk Lindungi Kesehatan Anak
Menurutnya, batas masksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya.
Contohnya Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj), bahkan USA tidak ada batas spesifik migrasinya.
Baca juga: Muncul Petisi Tolak Label BPA di Kemasan Galon Guna Ulang
“Jadi, sampai saat ini sepengetahuan saya, tidak ada satupun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA termasuk kepada produsen air minum dalam kemasan,” tukasnya.
Dia juga menyampaikan bahwa pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA.
Baca juga: Pengusaha Kecil Depot Air Isi Ulang Khawatir dengan Rencana Pelabelan BPA
“Jadi, menurut saya, mengacu kepada hasil kajian lembaga-lembaga pengawas keamanan pangan di berbagai negara, pelabelan kemasan air minum bebas BPA belum perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan adalah analisi resiko paparan BPA dari berbagai sumber paparan di Indonesia,” katanya.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan ketidaksepahaman yang masih terjadi antar kementerian dan lembaga terkait sehubungan dengan adanya rencana perubahan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan harus diselesaikan dalam pembahasan antar Kementerian (PAK).
“Jadi, sebelum ada kesepakatan antar kementerian dan lembaga terkait, maka perlu ditunda dulu harmonisasinya. Karena, itu berarti secara substansi belum dapat disepakati K/L terkait,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa selayaknya pembentukan suatu peraturan, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Apalagi kalau peraturannya itu akan mengikat pihak luar institusi pembentuknya.
Karena revisi Peraturan BPOM itu sudah masuk harmonisasi, menurut Fajri, sebaiknya Kemenkumham harus memastikan dulu bahwa seluruh kementerian dan lembaga terkait sudah setuju dengan peraturan itu.
“Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian Peraturan Menteri/Kepala Lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU,” katanya.
Namun, dia mengatakan akan sangat disayangkan apabila yang mengajukan itu adalah bagian dari pemerintah juga yang menolak kehadiran peraturan itu. “Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan,” katanya.
Seperti diketahui, kebijakan pelabelan Free BPA terhadap kemasan AMDK galon guna ulang ini masih ditolak oleh Kementerian Perindustrian. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga meminta BPOM agar memperhatikan juga keberatan-keberatan dari para stakeholder terkait.
Menteri Kesehatan juga sudah menegaskan bahwa menegaskan bahwa air kemasan galon guna ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil. Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang yang dihembuskan pihak-pihak tertentu adalah hoax.