Kebijakan DMO Sawit Berdampak Pada Emiten CPO
Pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan domestic price obligation (DMO) minyak sawit sebesar 20% dari total volume ekspor.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan domestic price obligation (DMO) minyak sawit sebesar 20% dari total volume ekspor.
Kebijakan ini dilakukan untuk memastikan pasokan minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng dalam negeri tercukupi.
Andhika Cipta Labora, Equity Analyst Kanaka Hita Solvera menilai, dengan adanya kebijakan DMO minyak sawit 20% bisa menjadi sentimen negatif untuk saham-saham emiten crude palm oil (CPO) di tengah meningkatnya harga komoditas CPO dunia.
Ia bilang, adanya kebijakan ini membuat margin perusahaan akan terbatas.
Baca juga: Mulai Hari Ini HET Minyak Goreng Diberlakukan, DMO Sering Disalahartikan Pengusaha Sawit
“Ini akan menjadi sentimen negatif untuk emiten CPO yang memiliki porsi ekspor besar karena akan menaikan harga HPP, sehingga margin keuntungan perusahaan akan tertekan. Namun karena harga CPO dunia sedang naik, jadi ini hanya sentimen jangka pendek,” papar Andhika kepada Kontan.co.id, Selasa (1/2/2022).
Sebelumnya, emiten CPO juga sudah lebih dulu dikenakan pungutan untuk ekspor. Selain dua isu tersebut, Andhika menuturkan, meningkatnya kasus virus Covid-19 varian omicron juga menjadi katalis negatif lantaran membuat produksi CPO di Indonesia dan Malaysia menjadi terganggu.
Baca juga: Diduga Diinjak Gajah, Pemilik Kebun Sawit di Riau Ditemukan Tewas Dalam Kondisi Mengenaskan
Meski demikian, upaya pemerintah untuk mengembangkan bahan bakar Biodisel B-100 atau 100% biosolar bisa jadi sentimen positif untuk sektor ini.
Seperti diketahui, Biodiesel B-100 adalah satu bahan bakar yang tidak lagi menggunakan minyak berbasis fosil tapi dari kelapa sawit atau lainnya. Sehingga, ke depannya akan meningkatkan permintaan kelapa sawit.
Lalu, adanya potensi perubahan iklim La Nina yang membuat curah hujan tinggi mengakibatkan banjir dan tanah longsor.
Maka, hal ini akan menggangu aktivitas panen dan merusak stock sawit yang ada serta menghambat pengiriman minyak sawit.
Baca juga: Tak Ada Pasokan Jadi Penyebab Lenyapnya Minyak Goreng Murah di Toko Ritel Modern
“Hal ini diprediksi akan membuat harga CPO global tetap tinggi,” imbuh Andhika.
Dari sektor CPO, Andhika menjagokan saham LSIP. Jika mengintip laporan keuangan emiten ini, pada kuartal III-2021 LSIP membukukan penjualan sebesar Rp 3,34 triliun yang naik 47% yoy, sehingga laba bersih juga terkerek 172% yoy menjadi Rp 752 miliar.
Secara valuasi pun LSIP masih terbilang murah dengan PER diperdagangkan di 8,57 kali.
Dengan masih tingginya harga CPO, Andhika memproyeksi laporan keuangan LSIP berpeluang untuk tetap membukukan kinerja moncer pada tahun 2021.
Baca juga: Benarkah Harga Minyak Goreng di Malaysia Lebih Mahal Dari Indonesia?
Selain itu, Andhika memandang saham AALI juga menarik untuk dicermati. Hingga September 2021, AALI membukukan pendapatan sebesar Rp 18,01 triliun berhasil tumbuh 35,21% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Laba bersih meroket 150,62% menjadi Rp 1,46 triliun pada kuartal III-2021. Secara valuasi, saham AALI masih terbilang murah dengan PER diperdagangkan di 9,73 kali.
Oleh karena itu, ia memberikan rekomendasi buy saham LSIP dengan target harga di Rp 1.370 dan buy saham AALI dengan terget harga di Rp 10.600. (Ika Puspitasari)