Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Harga Kedelai Melambung, Kemendag Minta Masyarakat Maklumi, Mentan Akui Sulit Genjot Produksi

Harga tahu dan tempe diprediksi akan mengalami kenaikan dalam beberapa bulan ke depan, seiring melonjaknya harga kedelai

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Harga Kedelai Melambung, Kemendag Minta Masyarakat Maklumi, Mentan Akui Sulit Genjot Produksi
Tribunnews/Jeprima
Harga Kedelai Melambung, Kemendag Minta Masyarakat Maklumi, Mentan Akui Sulit Genjot Produksi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Harga tahu dan tempe diprediksi akan mengalami kenaikan dalam beberapa bulan ke depan, seiring melonjaknya harga kedelai di Amerika Serikat.

Anggota Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ayep Zaki mengatakan, kondisi tersebut dapat membuat harga tempe mencapai di atas Rp 50 ribu per papan.

"Ini harus menjadi momentum bagi petani Indonesia untuk menggalakkan budidaya kedelai. Risiko sebagai negara pengimpor kedelai, Indonesia akan terus bergantung dengan negara pengekspor. Apabila terjadi perlambatan ekonomi di negara tersebut yang disebabkan berbagai hal, secara otomatis akan berdampak pula pada negara pengimpor," kata Ayep dalam keterangannya.

Baca juga: Harga Kedelai Melonjak, Produsen Tempe Tahu Akan Mogok Produksi

Menurutnya, terkait urusan pangan di dalam negeri, sudah seharusnya pemerintah Indonesia secara harus mampu memproduksi sendiri.

"Impor kedelai yang mencapai 80 persen lebih untuk kebutuhan nasional setiap tahunnya, membuat Indonesia menjadi sangat tergantung dengan negara pengekspor. Itu sebabnya budidaya kedelai harus mendapat dukungan dari semua pihak, mulai dari off tacker (penjamin), pemerintah, dunia perbankan hingga petani," papar Ayep.

Berdasarkan data dan pengalaman yang sudah dilakukannya, Ayep mengaku sudah melakukan uji coba langsung di lahan setelah panen padi, baik di musim tanam ke dua atau ke tiga

Sistem tanpa olah tanah (TOT) budidaya kedelai bisa menghasilkan 1,7 ton sampai 1,8 ton per hektare, sehingga asumsi biaya per hektarenya berkisar Rp8 juta.

Perajin memproduksi tempe di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (8/6/2021). Naiknya harga kedelai dari Rp 7.800 per kilogram menjadi Rp 11.600 per kilogram sejak satu pekan terakhir membuat sejumlah perajin terpaksa harus mengecilkan ukuran tempe yang diproduksinya. Mengecilkan ukuran tempe merupakan salah satu cara agar rumah produksinya tetap bertahan dan tak mengalami kerugian besar. Tribunnews/Jeprima
Perajin memproduksi tempe di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (8/6/2021). Naiknya harga kedelai dari Rp 7.800 per kilogram menjadi Rp 11.600 per kilogram sejak satu pekan terakhir membuat sejumlah perajin terpaksa harus mengecilkan ukuran tempe yang diproduksinya. Mengecilkan ukuran tempe merupakan salah satu cara agar rumah produksinya tetap bertahan dan tak mengalami kerugian besar. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)
Berita Rekomendasi

"Ini sudah saya lakukan di beberapa tempat. Jika rata-rata per hektare mencapai 1,8 ton dan harga per kilonya Rp10 ribu, hasilnya bisa mencapai 18 juta per hektare," ucapnya.

Ia menyebut, hasil produksi petani tersebut masih akan dipilah untuk memisahkan kedelai berukuran besar, sedang, dan kecil.

Pemilahan tersebut, kata Ayep, bisa memakan hingga 15 persen hasil produksi, di mana tujuan pemilahan hanya kedelai berukuran besar saja yang bisa diterima pasar.

Ia mengungkapkan, pada tahun ini pihanya menjalin kerja sama dengan Direktorat Akabi (Aneka Kacang dan Umbi) Kementerian Pertanian untuk program budidaya kedelai mandiri dengan sistem TOT seluas 25 ribu hektare di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Baca juga: Gakoptindo: Ribuan Pengrajin Hentikan Produksi Tempe dan Tahu karena Lonjakan Harga Kedelai

"Insya Allah April nanti kami akan melakukan penanaman perdana budidaya kedelai yang ditargetkan mencapai 1,8 ton per hektarenya," terang Ayep.

Untuk keberhasilan budidaya kedelai, kata Ayep, instrumen pemerintah sebagai pemegang regulasi sesungguhnya sudah mendukung, hanya saja di instrumen perbankan kadang kala masih banyak pertimbangan.

"Ini memang perlu sinergitas antara bank selaku regulator pembiayaan. Karena mau tidak mau bank memang harus terlibat dalam hal ini," papar Ayep.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas