Penundaan Pelaksanaan Permen Pemanfaatan PLTS Picu Ketidakpastian Investasi di Sektor Energi Bersih
Penundaan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang mengatur pemanfaatan PLTS atap menyebabkan ketidakpastian investasi di sektor energi bersih.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menilai, penundaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia menyebabkan ketidakpastian investasi di sektor energi bersih.
Akibatnya, perusahaan multinasional mempertanyakan komitmen Indonesia dalam meningkatkan energi terbarukan.
"Pemerintah menahan penggunaan regulasi itu karena mempertimbangkan dampak yang akan diterima PLN dan laporan anggota AESI menyatakan klien mereka kesulitan memasang PLTS atap karena tidak mendapatkan perizinan dari PLN," ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Rabu (16/2/2022).
Keluhan ini mendapatkan tanggapan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi.
Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya akan memfasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi kalangan industri terkait pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)) di berbagai daerah.
“Kami akan terus terus berkoordinasi dengan PLN untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan ini atau kesulitannya,” kata Dadan Kusdiana.
Fabby menambahkan, selama November dan Desember 2021, Asosiasi Energi Surya Indonesia menerima 14 pengaduan dari kalangan industri terkait pemasangan PLTS di berbagai daerah dan 79 persen kasusnya terjadi di Jawa Barat.
Baca juga: Jababeka Morotai-Kyudenko-Santomo Bentuk Konsorsium PLTS untuk KEK Morotai
AESI mengungkapkan, industri yang melaporkan pengaduan itu rata-rata ingin membangun PLTS atap sebesar satu sampai dua megawatt,bahkan, ada proyek pembangkit yang mencapai empat sampai lima megawatt untuk satu perusahaan.
Baca juga: Berikan Insentif, Kementerian ESDM Dorong Masyarakat Pasang PLTS Atap
Adapun jenis pengaduan yang mereka sampaikan berupa adanya permintaan dokumentasi atau kajian tambahan saat pengajuan perizinan, proses perizinan yang cukup lama lebih dari 15 hari dan permohonan izin melalui OSS mengharuskan pemohon untuk memiliki KBLI tertentu.
"Perizinan yang sulit ini dapat berdampak langsung terhadap daya saing investasi energi bersih di Indonesia dan perlu menjadi perhatian pemerintah," ucapnya.
Baca juga: Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap Mulai Diimplemetasikan
Deputy General Manager Corporate Planning, Corporate Strategy Sub Division PT MMKI Diantoro Dendi mengatakan, pihaknya sempat menemui hambatan saat memasang PLTS atap untuk kepentingan pabriknya.
MMKSI mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap pada April 2021, namun PLN baru merespons permohonan itu sembilan bulan kemudian di Januari 2022.
"Saat itu MMKSI telah memenuhi berbagai persyaratan dan aspek teknis, kemudian PLN memberikan persyaratan tambahan yang tidak sesuai dengan regulasi tentang PLTS yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021," katanya.
Adapun syarat yang diajukan PLN adalah maksimum kapasitas PLTS atap sebesar 1,75 megawatt peak.
Kemudian MMKSI dilarang mengoperasikan PLTS atap saat hari libur, dan ekspor listrik hanya 65 persen.
"Padahal dalam regulasi terbaru yang dikeluarkan Menteri ESDM, syarat-syarat ini tidak ada dan kami belum menjawab draft proposal dari PLN sampai kami mendapatkan kejelasan," ujar Diantoro.