Otto Hasibuan Beberkan Sejumlah Persoalan dalam UU Kepailitan dan PKPU
Persoalan lainnya, UU tersebut telah mengubah paradigma UU sebelumnya. Sebelum ada UU Kepailitan dan PKPU, orang berpikir bahwa pailit i
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hendra Gunawan
Masalah selanjutnya, soal siapa yang berwenang mengajukan kepailitan dan PKPU terhadap BUMN meskipun di UU itu sudah jelas. Tetapi dalam kenyataanya, hanya OJK yang bisa mengajukan terhadap BUMN.
“Ini menurut saya terjadi ketidakadilan, transaksinya bisnis biasa, kedudukannya sejajar, tetapi ada satu kebal hukum dan yang lain tidak,” ujarnya.
Selanjutnya, permasalahan terkait pengurus PKPU atau kepailitan, di antaranya tidak jarang kurator dan lainnya akhirnya berhadapan dengan hukum dan dipenjara karena dianggap menyalahgunakan UU Kepailitan, tindak pidana penggelapan, dan lain sebagainya.
Permasalahan lainnya, yakni soal bersifat sederhana. Menurutnya, ini terlalu "karet" sehingga apakah kata-kata sederhana ini perlu dipertanyakan atau tidak karena terpenting utangnya ada. “Soal pembuktian sederhana atau tidak, sama pembuktiannya, dengan pembuktian biasa tidak ada bedanya. Kita sudah bisa lihat buktinya, prosesnya hukum yang sudah sempat ada gugatan replik, duplik, dan sebagainya,” katanya.
Dalam webinar ini juga menghadirkan 3 pembicara lainnya, yakni Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo Rahadian Muzhar; Ketum Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI) dan Waketum Peradi, Soedeson Tandra; dan Dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hadi Subhan.
Senada dengan Otto, Cahyo menyampaikan, apakah sekarang Kepailitan dan PKPU ini menjadi forumnya siapa. Sedangkan soal BUMN, ia menyampaikan bahwa perusahaan pelat merah ini memang mempunyai keistimewaan (privilege).
“Saya setuju bahwa pada saat suatu BUMN melaksanakan suatu kegiatan taking commersial action memang harusnya didudukan pada posisi yang sama. Tetapi kita bisa bahas lebih lanjut,” ujarnya.
Menurutnya, kita menyadari bahwa sistem kepailitan Indonesia belum sempurna sehingga ada saja yang memanfaatkan situasi, utang kecil diajukan kekepailitan atau juga kelompok kreditur nakal menggelembungkan tagihan-tagihan sehingga tidak dapat diselesaikan sehingga masuk ke kepailitan.
“Ini masalah persaingan usaha juga. Harus kita pikirkan bersama bagaimana kita mem-balance interest debitur dan kreditur,” ujarnya.
Sementara itu, Soedeson menyampaikan, mengaku kecewa setelah membaca draf revisi UU Kepailitan dan PKPU. Menurutnya, kalau hanya demi memudahkan usaha maka mengajukan RUU seperti ini, maka harus menyampaikan kritik keras.
“Saya harus mengkritik secara keras mereka-mereka yang menyusun RUU ini yang sangat tidak memahami sistem hukum sehingga menabrak sistem hukum kita, tidak memahami insolvensi tes. Makna insolvasi tes itu makna akuntansi, bukan terminologi hukum,” ujarnya.
Adapun Hadi menyampaikan, tidak perlu ada insolvensi tes di Indonesia. Dari dua model sistem hukum di dunia, insolvensi tes diterapkan pada sistem hukum yang menganut Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Sedangkan di sistem hukum Sivil Law seperti Belanda berlaku sebaliknya.
“Jerman demikian, Perancis juga demikian, Indonesia juga demikian. Jadi Indonesia bukan satu-satunya yang tidak menerapkan insolvensi tes, bahkan Singapura yang karakteristiknya Common Law, itu sudah mengarah ke menghilangkan insolvensi tes tersebut. Itu dari segi teoritik begitu,” ujarnya.