Penolakan Industri AMDK Pelabelan BPA-Free pada Galon Air dan Temuan BPOM
BPOM mencantumkan sejumlah pasal terkait pelabelan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang di draft revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan
Penulis: Yulis
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencantumkan sejumlah pasal terkait pelabelan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang dalam draft revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan.
Dalam draft tersebut BPOM mengharuskan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan keterangan "Berpotensi Mengandung BPA".
Namun BPOM memberlakukan pengecualian bagi produsen yang mampu membuktikan sebaliknya via pengujian laboratorium terakreditasi atau laboratorium pemerintah.
Sementara untuk produsen AMDK yang menggunakan plastik selain polikarbonat, rancangan peraturan membolehkan pencantuman label "Bebas BPA".
Rencana yang diajukan BPOM ini bertujuan melindungi konsumen dari bahaya paparan BPA terhadap kesehatan.
Kepala BPOM Penny K Lukito pada satu konferensi pers menyebut, rancangan peraturan pelabelan risiko BPA tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya masalah-masalah kesehatan di masyarakat di masa datang.
Baca juga: Risiko Paparan BPA pada Air Minum Galon Tuai Polemik dan Jadi Bahasan Hangat Berbagai Kalangan
Mengingat begitu pentingnya regulasi pelabelan kemasan, sejumlah pihak turut memberikan dukungan pada BPOM.
Di antaranya, Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Komisi IX DPR.
Baca juga: BPOM RI: Revisi Aturan BPA AMDK Sedang Berproses
Namun regulasi ini juga menuai respons kontra. Salah satunya dari Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat yang menyatakan menolak rencana pelabelan risiko BPA.
Ketua organisasi lobby dagang ini juga beralasan, rencana pelabelan tersebut akan berdampak pada banyaknya industri kecil yang gulung tikar dan mematikan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang telah bertahun-tahun digunakan masyarakat.
Baca juga: Arzeti Bilbina Ingatkan Bahaya Racun BPA, Kaum Ibu Diminta Cerdas Pilih Botol Susu Bayi
"Galon guna ulang sudah digunakan hampir 40 tahun, tidak saja oleh rumah tangga di perkotaan tetapi juga di sub-urban, termasuk di institusi pemerintah, rumah sakit, kantor dan lainnya," ujar Rachmat.
BPOM temukan migrasi BPA
Sementara itu, menurut sumber di kalangan industri, dalam dua kali pertemuan tertutup BPOM dan perwakilan industri AMDK terkait sosialisasi rencana pelabelan risiko BPA masih berlangsung panas.
Dalam kesempatan tersebut, BPOM menjelaskan ke perwakilan industri bahwa rencana kebijakan pelabelan untuk penyelarasan standar pelabelan kemasan pangan dan juga untuk memberi informasi yang presisi pada konsumen.
BPOM juga turut menegaskan bahwa rencana kebijakan tersebut tidak berdasarkan tekanan pihak manapun.
Salah satu yang menjadi landasannya adalah data hasil uji post-market 2021-2022 dengan sampel yang diambil dari seluruh Indonesia yang menemukan bahwa migrasi BPA (perpindahan BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan) pada galon polikarbonat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan" dan telah mencapai ambang batas berbahaya.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang menjelaskan, hasil uji migrasi BPA (perpindahan BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan) menunjukkan sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24% sampel pada sarana produksi berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
"Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," katanya.
Selain itu, Rita menambahkan, terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia.
BPOM juga melakukan kajian paparan BPA pada konsumen produk galon guna ulang dengan hasil menunjukkan bahwa kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun.
"Kesehatan bayi dan anak merupakan modal paling dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang merupakan salah satu tujuan RPJMN, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024," ujarnya.
Rita mengatakan BPOM juga melakukan kajian kerugian ekonomi dari permasalahan kesehatan yang timbul akibat paparan BPA pada air kemasan yang dilakukan bersama kalangan ahli di perguruan tinggi.
Penelitian dengan metode studi epidemiologi deskriptif dilakukan oleh sejumlah pakar ekonomi kesehatan yang menggunakan estimasi berdasarkan prevalence-based untuk mengkaji beban ekonomi, katanya.
"Dipilih satu penyakit dengan dukungan banyak publikasi yang ilmiah. BPA merupakan endocrine disruptor (zat kimia yang dapat mengganggu fungsi hormon normal pada manusia) berdasarkan penelitian berkolerasi pada sistem reproduksi pria atau wanita seperti infertilitas (gangguan kesuburan)," katanya.
Berdasarkan hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) pada 2021, kata Rita, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali.
"Diperkirakan beban biaya infertilitas pada konsumen AMDK galon yang terpapar BPA berkisar antara Rp16 triliun sampai dengan Rp30,6 triliun dalam periode satu siklus in vitro fertilization (IVF)," katanya.
Dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat untuk jangka panjang, kata Rita, beberapa negara telah memperketat standar batas migrasi BPA.
Sejumlah studi internasional lain yang juga telah menunjukkan fakta yang sama terkait potensi bahaya paparan BPA bagi kesehatan.
Mengutip dari Healthline, penelitian menunjukkan bahwa paparan BPA dapat berdampak negatif pada banyak aspek kesuburan pria dan wanita.
Paparan BPA juga berkaitan dengan masalah kesehatan seperti risiko persalinan prematur karena wanita dengan kadar BPA yang lebih tinggi selama kehamilan 91% lebih mungkin untuk melahirkan sebelum 37 minggu, serta kadar juga BPA dapat berdampak pada fungsi sistem imun yang lebih buruk.
Dukungan berbagai pihak
Kalangan parlemen menyatakan dukungannya pada aturan pelabelan BPA pada galon air isi ulang. Dukungan itu antara lain datang dari Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina.
"Saya minta BPOM membuat aturan setiap wadah plastik untuk tidak ada kandungan BPA dengan ditandai ada label 'BPA free'," ujar Arzeti.
Dukungan senada juga datang dari Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dan juga Achmad Haris Januariansyah, peneliti FMCG Insights yang menilai rencana ini sebagai langkah BPOM dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan serta terkait pemenuhan hak informasi masyarakat atas pangan yang mereka konsumsi.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, Budi Dharmawan mengaku siap mendukung rencana pelabelan BPA.
"Sepanjang rancangan kebijakan BPOM memang berlatar keinginan untuk kepentingan kesehatan masyarakat secara luas, kami mendukungnya," kata Budi Dharmawan.
Menurut Budi, penolakan lobi dagang industri AMDK atas rancangan kebijakan pelabelan itu lebih karena persaingan ingin mempertahankan dominasi pasar air minum kemasan bermerek di kalangan masyarakat menengah ke atas yang angkanya mencapai 35 miliar liter per tahun.
Sebagai informasi, saat ini draft rancangan peraturan pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) pada air minum galon tersebut juga telah rampung proses harmonisasi dan tengah menunggu proses pengesahannya menjadi Peraturan BPOM.