PLTN Ukraina Dibombardir Rusia, Bursa Saham Eropa dan Asia Rontok
Memerahnya bursa efek di seluruh wilayah tentunya membuat investor dunia makin dilanda kekhawatiran.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Serangan Rusia yang menargetkan hancurnya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Zaporizhzhia di Kota Enerhodar, Ukraina pada Jumat (4/3/2022), tak hanya merontokkan bursa saham Eropa namun juga melemahkan saham di wilayah Asia.
Memerahnya bursa efek di seluruh wilayah tentunya membuat investor dunia makin dilanda kekhawatiran.
Terpantau dari laman Aljazeera, saham Asia merosot ke level terendah. Menurut hasil dari indeks MSCI saham Asia-Pasifik terlihat adanya penurunan sebanyak 1,6 persen hingga mencetak nilai 585,5, di level terendah sejak November 2020 lalu.
Baca juga: Hari Kesembilan Serangan Rusia ke Ukraina, Moskwa Kuasai PLTN Zaporozhzhia, Facebook Diblokir
Jika dilihat lebih detail, sejauh ini saham di Jepang dan Hong Kong merosot sebanyak 2,5 persen. Hal yang sama juga terlihat di wilayah China, Australia dan Korea Selatan dimana nilai bursa saham ikut tergelincir diantara 0,07 dan 1,3 persen.
Tak hanya bursa saham, bahkan akibat adanya kebakaran pada pembangkit nuklir Ukraina juga memicu adanya pelemahan pada mata uang Asia. Untuk won, mata uang Korea Selatan terpantau melemah 0,6 persen ke level terendah sejak Juni 2020, sedangkan dolar Singapura merosot sebanyak 0,3 persen. Keduanya terjun ke level terendah sejak invasi Rusia ke Ukraina.
Baca juga: Rusia Salahkan Ukraina soal Penyerangan PLTN Zaporizhzhia, Dinilai Ulah Tukang Sabotase
Hal serupa juga berlaku bagi harga minyak mentah. Sejak Jumat kemarin harga minyak terlihat melonjak drastis setelah sebelumnya harga minyak sempat stabil. Kini harga minyak mentah berjangka brent naik menjadi 114,23 dolar AS per barel.
Mengantisipasi adanya kerugian yang lebih parah, saat ini Investor Asia mulai berbondong-bondong mencari perlindungan pada obligasi pemerintah AS yang diklaim aman. Dengan mengirimkan imbal hasil acuan obligasi pemerintah AS, mereka berharap bursa saham Asia bisa kembali stabil seperti sebelumnya.