Pemerintah Diminta Waspadai Substitusi Impor Agar Tak Jadi Incaran Pemburu Rente
Kebijakan substitusi impor dengan berbagai proteksi dan berbagai pengaturan lisensi, tidak mustahil menjadi incaran para pemburu rente.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah melakukan substitusi impor sebesar 35 persen atau setara dengan Rp 152 triliun di tahun 2022 untuk mengurangi ketergantungan impor diapresiasi.
Langkah tersebut dinilai akan mendorong penguatan struktur industri dalam negeri yang gilirannya akan mampu meningkatkan nilai tambah domestik.
Namun demikian, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengingatkan, kebijakan substitusi impor dengan berbagai proteksi dan berbagai pengaturan lisensi, pengenaan tarif maupun hambatan non-tarif, tidak mustahil menjadi incaran para pemburu rente.
"Kalau ini terjadi dikhawatirkan akan merugikan kepentingan nasional kita," kata Pontjo Sutowo saat FGD bertema Daya Beli Nasional (Domestic Purchasing Power) untuk Mengembangkan Knowledge Based Economy yang digelar virtual, Rabu (9/3/2022).
Baca juga: Perbesar Peran Industri Dalam Negeri, Pemerintah Dorong Substitusi Impor Produk Elektronika
Kebijakan substitusi impor merupakan salah satu instrumen pengendalian impor sehingga memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan mampu bertarung di persaingan global.
Baca juga: Kurangi Konsumsi Barang dari Luar Negeri, Kemenperin Fokus Substitusi Impor Industri Kimia
Menteri Perdagangan, Agus Gumiwang mengatakan, substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi, dan utamanya akselerasi program hilirisasi.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan program substitusi impor 35 persen produk industri dalam negeri bisa tercapai pada akhir 2022.
Baca juga: Pandemi, Kinerja Industri Petrokimia Tumbuh Berkat Substitusi Produk Impor
Dalam hal ini Kemenperin juga menargetkan sektor Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT) bisa berkontribusi dalam program ini hingga 60 persen.
"Kami akan melakukan justifikasi terhadap yang ada di sektor, khususnya sektor produk hilir IKFT.
Kami akan kalkulasi lagi, sehingga pada akhir 2022 bisa mendapatkan angka 35 persen," ujar Plt Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Ignasius Warsito seperti dilansir Kompas.
Oleh karena itu, Pontjo yang juga menjabat sebagai Ketua Umum FKPPI mendorong strategi pencapaian target substitusi impor tersebut perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengalokasiaan sumber daya.
"Untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan yang mandiri dan berdaya saing, harus didukung pula dengan perubahan kultur menyangkut pola pikir dan perilaku," katanya.
Indonesia bisa mencontoh Jepang yang masyarakatnya sangat loyal dan bangga dengan barang-barang buatan negara mereka sendiri, sehingga nyaris anti dengan produk-produk impor.
"Dengan mental kultural seperti ini, manfaat daya beli nasional akan dinikmati terutama oleh bangsa sendiri dan bukan oleh bangsa atau negara lain," katanya.