Politikus PDIP Usul Pemerintah Bentuk Satgas Minyak Goreng Libatkan Sejumlah Lembaga
Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus menilai upaya pemerintah mengatasi persoalan minyak goreng sejauh ini belum menyentuh akar persoalan
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Muhammad Zulfikar
Sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan.
Sementara CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan.
Sebab di tingkat distributor, terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi dan penyeludupan.
“Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat,” ujar Deddy.
“Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya,” tegas Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Dia menjelaskan, kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup.
“Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya,” kata Deddy.
Baca juga: Menperin Apresiasi Penyaluran 500 ton Minyak Goreng Curah oleh Sinar Mas Agribusiness and Food
“Tata Niaga itu berarti harus dimulai sejak penentuan harga TBS, harga dan pasokan CPO, mekanisme distribusi dan harga ketika sampai di tingkat konsumen. Jika rantai pasok bahan baku dan distribusi produk tidak diawasi, penegakan hukumnya lemah maka persoalan tidak akan pernah selesai,” beber Deddy.
Dalam konteks itu, Deddy mengaku sungguh tidak habis pikir dengan belum selesainya masalah ini.
Sebab kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas.
Pasal 25, UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan, secara jelas mengatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga yang terjangkau.
Lebih jauh Perpres N0.72/2015 dan Perpres No. 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang pentinglainnya.
Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik serta mengelola ekspor dan impor.
Oleh karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian.