OJK Yakin Potensi Krisis Ekonomi di Indonesia Bisa Dikendalikan
Perang Rusia-Ukraina yang belum jelas kapan berakhirnya telah berakibat naiknya harga energi dan sejumlah komoditas.
Editor: Hendra Gunawan
"Oleh karena itu, kawasan Asia menghadapi prospek stagflasi, dengan pertumbuhan lebih rendah dari yang diperkirakan sebelumnya, dan inflasi lebih tinggi," katanya dalam konferensi pers online, dikutip dari Reuters, Selasa (26/4).
Hambatan untuk pertumbuhan datang pada saat ruang kebijakan untuk merespons terbatas, Gulde-Wolf menambahkan pembuat kebijakan Asia akan menghadapi trade-off yang sulit dalam menanggapi perlambatan pertumbuhan dan kenaikan inflasi.
"Pengetatan moneter akan dibutuhkan di sebagian besar negara, dengan kecepatan pengetatan tergantung pada perkembangan inflasi domestik dan tekanan eksternal," katanya.
Lebih lanjut, Gulde-Wolf bilang kenaikan suku bunga stabil yang diharapkan Federal Reserve AS juga menghadirkan tantangan bagi para pembuat kebijakan Asia mengingat utang dalam mata uang dolar yang besar di kawasan itu.
Dalam perkiraan terbaru yang dikeluarkan bulan ini, IMF mengatakan mereka memperkirakan ekonomi Asia tumbuh 4,9% tahun ini, turun 0,5 poin persentase dari proyeksi sebelumnya yang dibuat pada Januari.
Sementara itu, inflasi di Asia sekarang diperkirakan mencapai 3,4% pada 2022, 1 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan pada Januari.
“Eskalasi lebih lanjut dalam perang di Ukraina, gelombang Covid-19 baru, lintasan kenaikan suku bunga Fed yang lebih cepat dari perkiraan dan penguncian yang berkepanjangan atau lebih luas di China adalah beberapa risiko terhadap prospek pertumbuhan Asia,” pungkasnya. (Tribunnews.com/Kontan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.