Sri Mulyani Ingatkan Risiko Inflasi dan Rupiah, Ekses Pengetatan Suku Bunga oleh Bank Sentral AS
Dampak pengetatan suku bunga itu akan berpengaruh terhadap inflasi dan juga nilai tukar, termasuk rupiah.
Editor: Choirul Arifin
Pangkas Proyeksi Pertumbuhan
Sebelumnya, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global hampir sepertiga menjadi 2,9 persen untuk 2022, Selasa (7/6/2022) dan memperingatkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah menambah kerusakan ekonomi global yang sudah terguncang akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, banyak negara tengah menghadapi resesi ekonomi.
Reuters memberitakan, Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global mengatakan, perang di Ukraina telah memperbesar perlambatan ekonomi global, yang sekarang memasuki apa yang bisa menjadi periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi yang berlarut-larut.
Bank Dunia memperingatkan bahwa prospek masih bisa menjadi lebih buruk lagi.
Dalam konferensi pers, Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan pertumbuhan global bisa turun menjadi 2,1 % pada 2022 dan 1,5 % pada 2023, mendorong pertumbuhan per kapita mendekati nol, jika risiko penurunan terwujud.
David Malpass mengatakan, pertumbuhan ekonomi global tengah dihantam oleh perang, penguncian Covid baru di China, gangguan rantai pasokan dan meningkatnya risiko stagflasi.
Stagflasi merupakan periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi tinggi yang terakhir terlihat pada 1970-an. "Bahaya stagflasi cukup besar saat ini," tulis Malpass dalam kata pengantar laporan tersebut, Rabu (8/6/2022).
Dia menambahkan, pertumbuhan yang lemah kemungkinan akan bertahan sepanjang dekade karena investasi yang lemah di sebagian besar dunia.
"Dengan inflasi yang sekarang berjalan pada level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara dan pasokan diperkirakan tumbuh lambat, ada risiko bahwa inflasi akan tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama," kata Malpass.
Antara tahun 2021 dan 2024, laju pertumbuhan global diproyeksikan melambat sebesar 2,7 poin persentase, kata Malpass, lebih dari dua kali perlambatan yang terlihat antara 1976 dan 1979.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa kenaikan suku bunga yang diperlukan untuk mengendalikan inflasi pada akhir tahun 1970-an begitu curam sehingga memicu resesi global pada tahun 1982, dan serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.
Direktur Unit Bank Dunia, Ayhan Kose mengatakan kepada wartawan ada ancaman nyata di mana pengetatan kondisi keuangan yang lebih cepat dari yang diharapkan dapat mendorong beberapa negara ke dalam jenis krisis utang yang terlihat pada 1980-an.
Meskipun ada kesamaan dengan kondisi saat itu, ada juga perbedaan penting, termasuk kekuatan dolar AS dan harga minyak yang umumnya lebih rendah, serta neraca yang umumnya kuat di lembaga keuangan besar.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.