Aktivitas Manufaktur di Asia Melemah Meskipun China Mulai Bangkit, Picu Kekhawatiran Resesi Global
Aktvitas manufaktur China berkembang paling cepat dalam 13 bulan terakhir di bulan Juni, karena pemerintah China mencabut lockdown
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Aktivitas manufaktur di Asia pada bulan Juni harus terhenti, setelah banyak perusahaan mengalami gangguan pasokan yang disebabkan oleh penguncian atau lokcdown Covid-19 yang ketat di China.
Sementara risiko perlambatan ekonomi yang tajam di Eropa dan Amerika Serikat meningkatkan kekhawatiran akan resesi global.
Berdasarkan survei yang dilakukan hari ini, Jumat (1/7/2022), menunjukkan aktivitas pabrik di China pada bulan Juni kembali berkembang, meskipun pertumbuhan aktivitas pabrik di wilayah lain seperti Jepang dan Korea Selatan mengalami perlambatan, serta kontraksi di Taiwan, yang menyoroti ketegangan dari gangguan rantai pasokan, kenaikan biaya dan kekurangan bahan baku terus berlanjut.
Baca juga: AS Terancam Resesi, Ini Jurus Menkeu Sri Mulyani Amankan Keuangan RI
Aktvitas manufaktur China berkembang paling cepat dalam 13 bulan terakhir di bulan Juni, karena pemerintah China mencabut lockdown Covid-19 di kota-kota besar negara itu, yang membuat pabrik-pabrik berlomba untuk memulai produksi dan memenuhi permintaan konsumen.
Pencabutan lockdown Covid-19 di China dapat mengurangi hambatan rantai pasokan, dan memungkinkan produsen mobil dan produsen lainnya untuk menlanjutkan produksi setelah mengalami krisis pasokan.
Namun beberapa analis memperingatkan tatangan baru seperti meningkatnya kekhawatiran pasar akibat Federal Reserve AS menaikkan suku bunga secara agresif untuk menekan inflasi yang melonjak, sehingga mendorong AS ke jurang resesi.
Baca juga: Harga Minyak Turun Imbas Ketidakpastian Produksi OPEC+ hingga Kekhawatiran Resesi
Banyak negara memperketat kebijakan ekonominya, di tengah tekanan inflasi yang memanas, yang memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global yang tajam dan mengguncang pasar keuangan dalam beberapa bulan terakhir.
Kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute Jepang, Yoshiki Shinke mengatakan, meskipun ada harapan perekonomian China akan meningkat, namun ekonomi AS dan Eropa diperkirkaan akan mengalami perlambatan
"Ada harapan bahwa ekonomi China akan meningkat setelah periode beberapa kelemahan. Tapi sekarang ada risiko perlambatan ekonomi AS dan Eropa. Ini akan menjadi tarik ulur antara keduanya, meskipun ada banyak ketidakpastian atas prospek ekonomi global," kata Yoshiki Shinke, yang dilansir dari Reuters.
Indeks manajer pembelian (PMI) au Jibun Bank Japan Manufacturing merosot ke 52,7 di bulan Juni, dari 53,3 di bulan Mei, namun di atas tanda 50 poin yang memisahkan kontraksi dari pertumbuhan bulanan.
PMI Global S&P Korea Selatan juga turun di bulan Juni menjadi 51,3, dari 51,8 di bulan Mei. Penurunan ini disebabkan karena hambatan rantai pasokan dan dampak dari aksi mogok para pengemudi truk di bulan Juni.
Data terpisah menunjukkan ekspor Korea Selatan tumbuh pada laju paling lambat dalam 19 bulan terakhir di bulan Juni.
Namun sisi baiknya, PMI manufaktur Caixin/Markit China naik menjadi 51,7 di bulan Juni, dari 48,1 di bulan sebelumnya. Kenaikan ini jauh di atas ekspektasi para analis yang sebelumnya memperkirakan kenaikan ke 50,1.
Baca juga: Ekonomi Jerman Menuju Jurang Resesi oleh Embargo Gas Rusia
Sementara PMI global S&P Taiwan turun menjadi 49,8 pada bulan Juni, dari 50,0 di bulan Mei. Sedangkan PMI Vietnam juga anjlok menjadi 54,0 di bulan Juni, dari 54,7 di bulan sebelumnya.
Lockdown di China akibat pandemi Covid-19, telah mengganggu logistik dan rantai pasokan regional dan global, dan Jepang serta Korea Selatan melaporkan manufakturnya mengalami penurunan tajam produksi.
Ekonomi China telah menunjukkan pemulihan dari guncangan krisis rantai pasokan yang disebabkan oleh lockdown yang ketat, meskipun risiko tetap ada seperti permintaan pasar yang lemah dan ketakutan akan gelombang wabah Covid-19 yang baru.