Kondisi Ekonomi Indonesia Dihantui Stagflasi, Ekonom Beberkan Risikonya Terhadap Perekonomian RI
Stagflasi juga bisa didefinisikan sebagai kondisi pada sebuah periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan laju inflasi sepanjang tahun ini dapat mencapai 4,5 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Hal tersebut dikatakannya saat melakukan rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, (1/7/2022).
Perkataan Sri Mulyani dinilai cukup relevan, lantaran tanda-tandanya sudah mulai terlihat.
Baca juga: Waspadai Risiko Buruk Stagflasi, Harga Komoditas Andalan RI Bisa Jatuh
Berdasarkan laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), perkembangan inflasi Nasional pada Juni 2022 tercatat 0,61 persen secara bulanan (month to month/mtm).
Sementara itu, tingkat inflasi secara tahun kalender (Januari–Juni) 2022 sebesar 3,19 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Juni 2022 terhadap Juni 2021) sebesar 4,35 persen.
Jika diteliti lebih detail, tingkat inflasi tahun ke tahun yang sebesar 4,35 persen, merupakan yang terbesar sejak 5 tahun ke belakang.
Terkait hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memberikan analisanya.
Dirinya melihat sudah mulai ada tanda-tanda inflasi mengarah ke stagflasi.
Baca juga: Bank Dunia Prediksi Perekonomian Global 2022 Suram Akibat Perang, Stagflasi, dan Krisis Pangan
Sebagai informasi, stagflasi adalah kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi. Kondisi ini biasanya diikuti dengan kenaikan harga-harga atau inflasi.
Stagflasi juga bisa didefinisikan sebagai kondisi pada sebuah periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kenaikan inflasi yang tinggi bulan Juni misalnya bersifat abnormal, karena secara musiman pasca lebaran idealnya inflasi mulai menurun akibat normalisasi harga pangan," papar Bhima kepada Tribunnews.com belum lama ini.
"Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal stagflasi yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja," sambungnya.
Bhima melihat, saat ini masih ada 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi, diantaranya korban PHK dan masih alami pengurangan jam kerja.
Tekanan inflasi beberapa bulan ke depan diperkirakan berlanjut sehingga inflasi hingga akhir tahun dapan mencapai 4,5 persen hingga 5 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Risiko terbesar adalah imported inflation yakni pelemahan kurs yang membuat harga berbagai barang di dalam negeri meningkat.
Baca juga: Sri Mulyani Isyaratkan Stagflasi Ekonomi Dunia Akibat Perang di Ukraina
Maka dari itu, lanjut Bhima, sudah waktunya Pemerintah lebih serius soal pangan.
Pemerintah juga seharusnya menambah alokasi subsidi pupuk, karena biaya produksi pangan naik akibat harga pupuk mahal.
Kemudian, pemangkasan rantai distribusi bahan pangan juga wajib dilakukan. Karena terlalu panjang, sehingga kenaikan harga pangan tidak menguntungkan petani. Tetapi malah menguntungkan spekulan atau pedagang besar.
"Pemerintah juga harus memperkuat jaring pengaman sosial khususnya bantuan selama pandemi harus dilanjutkan agar 40 persen kelompok paling bawah bisa terlindungi dari stagflasi," ungkap Bhima
"Pemerintah juga perlu naikkan serapan kerja di sektor industri manufaktur maupun UMKM dengan bauran kebijakan," ujarnya.