Kamis Pagi, Rupiah Melemah, Tembus ke Level Rp 15.000 Per Dolar AS
Kamis pagi, Melansir data Bloomberg (pada pukul 09.16), rupiah berada di level Rp 15.011 per dolar AS.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis pagi (14/7/2022) terpantau melemah.
Melansir data Bloomberg (pada pukul 09.16), rupiah berada di level Rp 15.011 per dolar AS.
Pada penutupan di kemarin (13/7/2022), merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, nilai tukar Rupiah berada di level Rp 14.985 per dolar AS.
Sebelumnya, Analis Pasar Uang Ariston Tjendra sempat memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah mungkin bisa melemah terhadap dolar AS.
Baca juga: Rabu Sore Rupiah Menguat Terhadap Dolar AS, Kini di Level Rp 14.985
“Potensi pelemahan ke arah Rp 15.050, dengan support di kisaran Rp 14.970,” ucap Ariston kepada Tribunnews belum lama ini.
Menurut Ariston, fluktuasi nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara lain akan terpengaruhi sentimen The Fed yang makin menguat dan kekhawatiran pasar terhadap inflasi meninggi.
Pasar berekspektasi besar bahwa Bank Sentral AS akan kembali menaikan suku bunga acuannya di bulan Juli ini sebesar 75 basis poin dan di bulan September 50 basis poin.
Tekanan inflasi yang masih tinggi dan situasi ketenagakerjaan yang membaik di AS mendorong ekspektasi tersebut.
Baca juga: Rabu Pagi, Rupiah Kembali Menguat ke Level Rp 14.975 Per Dolar AS
Selain hal tersebut, nilai tukar dolar AS akan terpengaruh data inflasi konsumen AS bulan Juni yang akan dirilis hari Kamis ini diekspektasikan akan mencetak rekor tertinggi baru dalam 49 tahun, 8,8 persen.
“Agresivitas The Fed dalam menaikan suku bunga ini melebihi bank sentral lainnya mendorong penguatan dollar AS. Selain itu, meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap inflasi dan resesi mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman dolar AS sehingga dolar AS semakin menguat,” ucap Ariston.
“Dunia dihadapkan pada kenaikan harga energi dan pangan akibat perang yang menyebabkan harga barang konsumsi naik. Ini bakal mengikis daya beli masyarakat dan akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.