Sri Lanka Tidak akan Mendapat Dana Talangan IMF Sampai Situasi Negara Kondusif
Deborah Brautigam mengatakan Sri Lanka harus keluar dari situasi kekacauan sebelum Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan dana talangan.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Sanusi
Dua Syarat dari IMF
IMF menyebutkan dua syarat agar Sri Lanka yang bangkrut bisa keluar dari krisis.
Dalam pembicaraan bailout (bantuan keuangan guna menyelamatkan dari kebangkrutan) tentang krisis Sri Lanka, IMF pada Kamis (30/6/2022) mengatakan bahwa negara di Asia Selatan itu harus membasmi korupsi dan menaikkan pajak secara substansial.
Baca juga: Militer Sri Lanka Serang Demonstran, Rebut HP Orang yang Lakukan Siaran hingga Hancurkan Kamp
Perwakilan dari IMF baru saja menyelesaikan kunjungan 10 hari ke ibu kota Colombo untuk memetakan resolusi krisis Sri Lanka bangkrut yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pertemuan IMF dan Sri Lanka digelar setelah berbulan-bulan pemadaman listrik yang panjang dan antrean berhari-hari untuk membeli bensin, karena krisis keuangan membuat Sri Lanka bangkrut dan tidak memiliki dana untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Namun, IMF mengatakan bahwa ada pekerjaan lebih banyak yang harus dilakukan Sri Lanka untuk mengatur keuangan negara dengan benar dan memperbaiki defisit fiskal yang tidak terkendali, sebelum mencapai kesepakatan pendanaan untuk mengatasi krisis neraca pembayaran.
"Mengingat tingkat pendapatan yang rendah, reformasi pajak yang luas sangat dibutuhkan," kata IMF dikutip dari AFP.
Baca juga: Ditunjuk Jadi Presiden Baru Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe Langsung Ditolak Massa, Simak Profilnya
IMF menambahkan, Sri Lanka perlu mengurangi kerentanan korupsi, menahan inflasi yang melonjak, dan mengakhiri subsidi energi mahal yang sejak lama menguras anggaran pemerintah, tanpa merugikan warga yang lebih rentan.
"Pihak berwenang membuat kemajuan besar dalam merumuskan program reformasi ekonomi mereka dan kami berharap untuk melanjutkan dialog dengan mereka," katanya.
Sri Lanka sejauh ini sudah mencabut pemotongan pajak drastis tahun 2019 yang diperkenalkan oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa yang dituding memicu krisis ekonomi.
Negara juga mengurangi subsidi energi, dengan biaya bahan bakar naik hingga 400 persen tahun ini. Kemudian, pada April Sri Lanka gagal bayar utang luar negerinya sebesar 51 miliar dollar AS (Rp 761,55 triliun).
Krisis Sri Lanka bangkrut menyebabkan 22 juta warganya mengalami kekurangan kronis makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya tahun ini. Situasi ini memperparah keadaan yang sudah memburuk dalam beberapa pekan terakhir.
Negara pulau itu hampir kehabisan bensin sepenuhnya dan pemerintah menutup layanan publik non-utama dalam upaya menghemat bahan bakar.
PBB memperkirakan, sekitar 80 persen warga Sri Lanka kekurangan makan karena krisis pangan dan lonjakan harga.
Demo Sri Lanka bangkrut pun pecah menuntut pengunduran diri Rajapaksa karena pemerintah salah urus krisis, tetapi presiden sejauh ini menolak untuk mundur.(Kompas)