Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

BI Beber Risiko Stagflasi, Pemerintah Kejar Kepatuhan Wajib Pajak

Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu stagflasi karena membuat perekonomian dunia tertekan karena pembatasan aktivitas masyarakat.

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
zoom-in BI Beber Risiko Stagflasi, Pemerintah Kejar Kepatuhan Wajib Pajak
Tribunnews/JEPRIMA
Pedagang saat memotong daging sapi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (11/5/2022). Perekonomian Indonesia kini dihantui dampak stagflasi akibat ketidakpastian ekonomi global yang memicu kenaikan harga sejumlah komoditi termasuk komoditi pangan. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika perekonomian dunia kini mengalami pergeseran dan mengalami ketidakpastian fundamental akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, yang memicu gejolak harga komoditi.

"Setidaknya ada empat yang membuat terjadinya stagflasi dunia yaitu pandemi covid-19, geopolitik, gangguan rantai pasok dan proteksionisme," ungkap Kepala Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Wira Kusuma dalam Forum Merdeka Barat 9, Senin (25/7/2022).

Stagflasi merupakan sebuah kondisi ekonomi yang melambat dan biasanya disertai dengan kenaikan harga-harga pokok atau inflasi.

Menurut Wira, pandemi Covid-19 yang paling pertama membuat perekonomian dunia tertekan karena pembatasan aktivitas masyarakat.

"Saat ini memang sudah terjadi pemulihan ekonomi di beberapa negara sebagai dampak dari penanganan sangat baik tapi masih ada risiko dengan munculnya varian baru," urainya.

Wira menilai walaupun varian Covid-19 tidak seberat varian sebelumnya, laju ekonomi tetap sulit kembali ke posisi terbaiknya.

Baca juga: Kondisi Ekonomi Indonesia Dihantui Stagflasi, Ekonom Beberkan Risikonya Terhadap Perekonomian RI

Dia menyebut ketegangan geopolitik yang masih berkepanjangan yakni perang Rusia dengan Ukraina menganggu pasokan minyak dan komoditi gandum ke pasar dunia.

BERITA REKOMENDASI

"Kelangkaan atas kebutuhan minyak dan gandum tersebut membuat negara menerapkan tren proteksionisme," tutur Wira.

Baca juga: Sri Mulyani Isyaratkan Stagflasi Ekonomi Dunia Akibat Perang di Ukraina

Dia menyebut negara-negara di dunia memilih untuk mengamankan pasokannya terutama pangan agar bisa bertahan di tengah kondisi stagflasi.

Tren proteksionisme ini tentu saja membuat beberapa negara yang tergantung impor atau dari negara lain dirundung rasa kekhawatiran.

"Belum lagi gangguan rantai pasokan atau supply chain disruption yang membuat harga menjadi tidak stabil," imbuh Wira.

Menurutnya, saat ini PDB dunia menurun perkembangannya, kemudian harga komoditas global meningkat dengan adanya proteksionisme dan supply chain disruption.


Dampaknya yang paling nyata inflasi global, hampir seluruh harga komoditas seperti minyak dan gas bumi global melambung.

"Inflasi mendorong negara adikuasa Amerika Serikat merespons melalui kebijakan moneter di mana The Fed fund rate meningkat 75 basis poin," tutur Wira.

Hal ini menyebabkan kondisi pasar keuangan global dihantui ketidakpastian.

Pemerintah Kejar Pajak

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan untuk menyikapi stagflasi global pemerintah berupaya mengejar kepatuhan pajak.

Satu di antaranya penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) agar dapat mengatasi masalah compliance gap.

"Single identity number ini memberi kemudahan administrasi agar di negara ini kita hanya punya satu nomor untuk perpajakan," ujar Yon pada kesempatan yang sama.

Menurut dia, harmonisasi sistem perpajakan ini menjadi langkah awal agar pendapatan pemerintah dapat terus meningkat.

Yon menjelaskan wajib pajak hanya perlu mendaftarkan diri ke DJP untuk melakukan aktivasi NIK.

Baca juga: Hadapi Kondisi Stagflasi, Pemerintah Dorong Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli

"Ketika orang punya penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) maka kemudian tinggal diaktivasikan NIK-nya untuk menjadi NPWP," ujarnya.

Pemerintah juga melakukan pertukaran data dan informasi dengan instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) serta otoritas pajak negara lain melalui automatic exchange of information (AEOI).

"Data itu sudah ada dalam sistem perpajakan kita sekarang sedang proses data matching, kita bandingkan data dengan SPT wajib pajak kalau ada selisih kita klarifikasi," pungkas Yon.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas