Konsumsi Rokok Terus Naik, YLKI Minta Pemerintah Lebih Serius Lakukan Pengendalian
YLKI meminta Pemerintah lebih serius mengendalikan konsumsi rokok demi melindungi anak-anak dari paparan racun aduktif asap rokok.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Choirul Arifin
YLKI Desak Pemerintah Lebih Serius Kendalikan Konsumsi Rokok Yang Terus Meningkat
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Pemerintah untuk lebih serius mengendalikan konsumsi rokok, terutama untuk melindungi anak-anak dari paparan zat adiktif.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan ada sejumlah penyebab utama yang membuat konsumsi rokok terus meningkat.
“Pertama, adanya pembiaran atau pemandulan regulasi amandemen PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,” ucap Tulus dalam sebuah Webinar, Selasa (26/7/2022).
“Kedua, murah dan mudahnya produk rokok sehingga mudah diakses oleh anak-anak, remaja, dan keluarga miskin. Dan yang ketiga adalah masifnya iklan dan promosi rokok khususnya di media sosial dan internet,” sambungnya.
Berdasarkan hasil riset Global Adult Tobacco Survey (GATS) menyebutkan bahwa konsumsi rokok di Indonesia dalam kondisi yang darurat.
Baca juga: GAPPRI: Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Akan Menekan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau
Jumlah perokok selama 10 tahun terakhir (2011-2021) meningkat 8,8 juta perokok dewasa. Belum termasuk perokok pada kalangan anak-anak.
Saat ini ada 69,1 juta dari semula 60,3 juta perokok. Artinya 25 persen masyarakat Indonesia adalah perokok.
Tulus juga menilai, demi investasi, industri rokok di Indonesia tidak boleh dimusuhi oleh Pemerintah.
Baca juga: FDA Terbitkan Larangan Edar Rokok Elektrik Juul di AS, Tak Punya Cukup Bukti Aman untuk Kesehatan
Padahal menurut Tulus, investasi yang hakiki adalah investasi kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraan. Bukan investasi oleh industri rokok.
“Kita menyoroti industri rokok di Indonesia itu tidak boleh dimusuhi, seperti berhala. Jadi karena memberhalakan investasi kemudian perlindungan terhadap anak-anak itu dikesampingkan,” papar Tulus.
“Narasi perlindungan anak itu hanya lip service saja. Seolah-olah ada regulasi atau kebijakan terhadap anak, ternyata fakta di lapangan mengindikasikan tidak ada keberpihakan pada anak, sehingga dengan dalih investasi anak-anak dijadikan tumbal,” pungkasnya.