Harga Minyak Turun Terseret Lemahnya Data Manufaktur China dan Jepang
Harga minyak turun pada perdagangan hari ini, Senin (1/8/2022), menyusul dirilisnya data manufaktur China dan Jepang untuk bulan Juli
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA - Harga minyak turun pada perdagangan hari ini, Senin (1/8/2022), menyusul dirilisnya data manufaktur China dan Jepang untuk bulan Juli yang menunjukkan melemahnya aktivitas manufaktur di dua negara tersebut, sehingga membebani prospek permintaan di pasar bahan bakar.
Dikutip dari Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent turun 0,8 persen atau 82 sen menjadi 103,15 dolar AS per barel pada pukul 06:08 GMT. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berada di level 97,44 dolar AS per barel, setelah turun 1,2 persen atau 1,18 dolar AS.
Kebijakan penguncian atau lockdown Covid-19 baru di Beijing telah mempengaruhi aktivitas pabrik di China yang terlihat meningkat di bulan Juni lalu, sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan permintaan pasokan mengingat China adalah importir minyak mentah terbesar di dunia.
Baca juga: Banyak Negara Dilanda Krisis Energi, Produksi Minyak Libya Malah Naik 1,2 Juta BPH
Data manufaktur China yang dirilis hari ini menunjukkan, indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) Caixin/Markit turun menjadi 50,4 di bulan Juli, dari sebelumnya 51,7 di bulan Juni.
Aktivitas manufaktur Jepang di bulan Juli juga terlihat menurun, menuju ke level terendahnya dalam 10 bulan terakhir.
"PMI manufaktur China yang mengecewakan adalah faktor utama yang menekan harga minyak hari ini. Data menunjukkan kontraksi mengejutkan dari kegiatan ekonomi, menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia dari penguncian covid mungkin tidak sepositif yang diharapkan sebelumnya, yang menggelapkan prospek permintaan pasar minyak mentah," kata analis CMC Markets Tina Teng.
Baca juga: Berkah Lonjakan Harga Minyak, Ekonomi Arab Saudi Melesat 11,8 Persen di Q2 2022
Brent dan WTI mengakhiri perdagangan di bulan Juli dengan kerugian bulanan kedua berturut-turut untuk pertama kalinya sejak tahun 2020. Hal ini diperkirakan karena melonjaknya inflasi dan suku bunga, sehingga menambah ketakutan akan terjadinya resesi yang dapat mengikis permintaan bahan bakar.
Pelaku pasar bahan bakar juga sedang bersiap menunggu hasil pertemuan OPEC dan produsen minyak lainnya minggu ini.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, atau yang dikenal sebagai OPEC+, akan mengadakan pertemuan pada Rabu (3/8/2022) mendatang untuk mendiskusikan produksi minyak September.
Pertemuan tersebut terjadi setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengadakan kunjungan ke Arab Saudi bulan lalu.
"Sementara kunjungan Presiden Biden ke Arab Saudi tidak menghasilkan pengiriman minyak langsung, kami percaya bahwa Kerajaan akan membalas dengan terus meningkatkan produksi secara bertahap," kata seorang analis di RBC Capital, Helima Croft.
Sekretaris Jenderal baru OPEC+, Haitham al-Ghais menegaskan pada hari Minggu (31/7/2022) kemarin, keanggotaan Rusia dalam kelompok tersebut sangat penting untuk keberhasilan produksi.
Sementara itu, perusahaan produsen minyak Baker Hughes mengungkapkan produksi minyak AS terus naik di bulan Juli, yang dipicu oleh bertambahnya jumlah rig sebanyak 11 buah.