Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tarif TN Komodo Naik, Ribuan Pelaku Parekraf Terancam Jadi Pengangguran hingga Muncul Isu Pungli

Para pelaku wisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat menolak keras kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo sebesar Rp 3,75 juta.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Tarif TN Komodo Naik, Ribuan Pelaku Parekraf Terancam Jadi Pengangguran hingga Muncul Isu Pungli
Tribunnews/Irwan Rismawan
Wisatawan mengamati komodo yang terdapat di Pulau Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/3/2021). Kenaikan biaya masuk Taman Nasional Komodo sebesar Rp 3,75 juta telah membuat ribuan pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif (Parekraf) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat terancam kehilangan pekerjaan 

DPRD NTT Pertanyakan Dasar Hukum hingga Sebut Pungli

Wakil Ketua DPRD NTT, Inche Sayuna menyoali regulasi yang digunakan Pemerintah, khususnya pemerintah provinsi NTT menetapkan tarif jutaan rupiah itu.

Pemberlakuan tarif baru pada pulau Komodo dan Pulau Padar di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat, NTT dianggap pungutan liar (pungli).

Meski belum ada aturan mengikat, Pemerintah memaksa memberlakukan tarif baru sebesar Rp 3,75 juta per 1 Agustus 2022 kemarin.

Menurutnya, peraturan daerah (Perda) belum diketahui DPRD. Begitu juga dengan Peraturan Gubernur (Pergub).

“Harus ada dasar hukumnya. Dasar hukumnya yang menetapkan tarif itu apa? Apa dasar hukumnya?” tegas Inche seperti dikutip dari TribunFlores.com, Rabu (3/8/2022).

Ia mengatakan, kalau sudah ada dasar hukumnya, pihaknya akan melihat seperti apa aturannya.

Berita Rekomendasi

“Peraturan itukan ada masa ujinya. Ketika ditetapkan, lalu ada resistensi dari masyarakat, ya, kita harus melakukan evaluasi terhadap itu,” ujarnya.

Inche kembali menegaskan, ketika melakukan pungutan kepada siapapun maka harus punya dasar hukum yang jelas.

Baca juga: Sempat Menolak dan Mogok Kerja, Formapp Mabar Kini Dukung Kenaikan Tarif Taman Nasional Komodo

“Mau Pergub, mau Perda itu harus ada. Itu legitimasi. Kalau tidak itu dianggap pungutan liar (Pungli),” katanya.

Ia mengatakan, peraturan itu tidak mutlak, tidak abadi. Ada uji sosiologi dan publiknya.

“Jadi, kalau Pemerintah kemudian menerapkan aturan itu, lalu kemudian masyarakat melakukan penolakan, maka Pemerintah harus bisa melakukan evaluasi kembali kepada aturan itu. Supaya ada negosiasi berimbang antara rakyat dan Pemerintah,” katanya.

Menurut Inche, ada 3 dasar membuat aturan, yakni ada kewenangan, rujukan hukum, dan prosedurnya. Tiga poin ini kata dia, harus diperhatikan secara baik-baik.

“Tiga poin ini betul-betul kita harus perhatikan. Prosedurnya itu, misalnya sosialisasi kepada masyarakat,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas