Pelaku Usaha Berharap Pemerintah Tak Ubah Harga Gas Industri
Kenaikan harga gas dapat menghambat masuknya investasi dan pemulihan industri di dalam negeri.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah saat ini dikabarkan sedang melakukan evaluasi implementasi harga gas untuk tujuh golongan industri sebesar 6 dolar AS per MMBTU.
Nantinya, dari evaluasi tersebut ada kemungkinan harga gas industri dapat mengalami kenaikan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mnyampaikan, kenaikan harga gas dapat menghambat masuknya investasi dan pemulihan industri di dalam negeri.
“Pemerintah sebaiknya tidak mengubah harga gas industri, sejatinya kebijakan harga gas yang telah berlaku saat ini telah sukses membantu industri pengolahan dalam masa pandemi covid-19. Apabila pemerintah menaikkan harga gas, akan memberikan multiplier effect buruk terhadap perekonomian dalam negeri,” ungkap Fajar dalam keterangannya, yang dikutip Kontan, Kamis (1/9/2022).
Baca juga: Kemenperin Godok Skenario Baru Relaksasi Harga Gas Industri
Ia menyebut, pelaku industri saat ini banyak yang tidak setuju dengan kenaikan harga gas karena dapat menekan produksi dan akhirnya berdampak terhadap pengurangan karyawan.
“Wacana menaikkan harga gas justru membuat utilisasi produksi industri yang saat ini sudah menyentuh angka 75 persen, akan semakin merosot. Tak hanya itu, pengurangan karyawan pun akan terjadi seandainya harga gas kembali naik,” kata Fajar.
Menurutnya, wacana kenaikan harga gas juga dapat merusak upaya pemerintah dalam melakukan penguatan dan peningkatan daya saing industri nasional, serta secara otomatis akan membuka ruang yang lebih besar bagi produk impor masuk ke pasar dalam negeri apalagi kita sedang melakukan perjanjian dagang dengan Uni Emirat Arab dengan Bea Masuk 0 persen.
“Industri lokal hanya jadi penonton dan berubah menjadi trader. Ini yang harus diantisipasi. Wacana untuk mengkaji kebijakan harga gas industri atau dalam maksud adalah menaikkan kembali harga gas industri, akan berakibat iklim kepastian berusaha dan investasi di tanah air rusak di mata pelaku industri lokal maupun global, karena tidak adanya kepastian hukum,” tukasnya.
Baca juga: Penyerapan Belum Optimal, Insentif Penyesuaian Harga Gas Industri Akan Dievaluasi
Fajar meminta pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa hal, yang terpenting adalah menjaga daya beli masyarakat di tengah peningkatan harga energi global yang juga memengaruhi harga dalam negeri.
Lebih lanjut Ia mengatakan, wacana kenaikan harga gas ini tidak sepatutnya, karena industri dalam negeri hingga kini masih terbelenggu berbagai masalah seperti insentif perpajakan, pajak karbon, infrastruktur dan logistik, cuaca dan FTA yang cenderung merugikan Indonesia.
Fajar meminta perpanjangan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) proyek. Hal ini menimbang antrian engineering contractor yang bisa molor, dari awalnya dua hingga tiga tahun, menjadi empat hingga lima tahun.
Selain itu, ia mengimbau pemerintah menunda pengenaan pajak karbon. Hal ini dengan melihat kondisi global, yaitu ketidakpastian akibat tensi geopolitik Rusia dan Ukraina.
"Dulu ditetapkan belum ada perang, jadi tolong dikaji ulang sampai harga energi kembali normal. Kami tapi tetap akan menuju ke industri hijau," ungkap Fajar.
Baca juga: Pasok Gas Industri Kemurnian Tinggi untuk PT Freeport Indonesia, Linde Investasi Rp 1,4 Triliun
Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur dan akses logistik. Menurut Fajar, saat ini permintaan sudah meningkat, sehingga pengusaha manufaktur harus memenuhi ketepatan waktu untuk mengirim barang. Mereka masih mengalami kendala terkait logistik, baik itu jalur darat maupun jalur laut.
”Belum lagi ada ketidakpastian mengenai cuaca. Ini akan menambah waktu pengiriman, terutama di jalur laut, sehingga ongkos terkait logistik bisa bertambah. Terakhir, Fajar meminta pemerintah mengkaji ulang perjanjian perdagangan dengan negara lain. Pemerintah harus menimbang neraca keseimbangan. Jangan sampai perjanjian perdagangan ini malah berbalik memberi ancaman bagi utilitas industri dalam negeri,” pungkasnya.